Penerapan Pajak Karbon Diminta tidak Buru-Buru
Kalangan industri menilai penerapan carbon tax akan memberatkan kegiatan usaha dan menurunkan daya saing.
Reformasi perpajakan terus bergulir di Tanah Air. Dari sejumlah wacana perubahan yang diapungkan, pajak karbon (carbon tax) tampaknya merupakan hal baru. Tujuan umum introduksi jenis pungutan anyar itu adalah untuk memaksimalkan pendapatan negara. Sementara, target lebih spesifik adalah pengurangan emisi gas rumah kaca.
Anggota DPR RI Komisi XI Andreas Eddy Susetyo, mengatakan parlemen sudah resmi menerima usulan perubahan Rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) kelima perihal pajak karbon dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM, Senin, 28 Juni 2021.
“Tahapannya saat ini sudah membentuk panitia kerja dan mulai minggu depan kami akan mengundang semua pihak yang terlibat dalam revisi undang-undang termasuk pajak karbon. Semua asosiasi baik Gaikindo, Kadin, Apindo, Asosiasi Semen Indonesia,” ujar Andreas dalam webinar Dialog Industri bertajuk “Carbon Tax, Siapkah Kita?” yang diselenggarakan Media Tempo pada Selasa, 29 Juni 2021 dan bisa disaksikan di kanal Youtube Tempo.co, Facebook Live Tempo Media dan Saluran Digital TV Tempo.
Diskusi juga dihadiri juga oleh Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Kementerian Keuangan Oza Olavia, Technical Advisor Asosiasi Semen Indonesia Lusy Widowati, Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama, serta dimoderatori Direktur Tempo.co Tomi Aryanto.
DPR, kata Andreas, mendukung penuh kebijakan pajak karbon tersebut asal benar-benar bersemangat menjaga lingkungan hidup. Sehingga bisa mengendalikan emisi gas rumah kaca, mengubah perilaku ekonomi dan meningkatkan penerimaan negara. “Tapi jangan sampai pemerintah hanya berniat memperoleh pendapatan dengan dalih penyelamatan lingkungan,” ujarnya.
DPR meminta pemerintah membuat desain kebijakan yang tentunya di satu sisi bisa mencapai tujuan tersebut, tetapi tidak menimbulkan distorsi ekonomi. “Kami juga akan menanyakan alternatif apa yang diberikan pemerintah dalam energi terbarukan, misalnya. Tapi intinya jangan sampai pajak karbon ini menurunkan daya saing. Karena terciptanya undang-undang ini seperti Undang-undang Cipta Kerja untuk menaikkan daya saing,” kata Andreas.
Di sisi lain, pelaku industri sendiri khawatir mengenai rencana kebijakan pajak karbon tersebut. Pasalnya, kondisi ekonomi di tengah mewabahnya Covid-19 masih belum pulih. “Setelah nanti pemulihan ekonomi 2-3 tahun ke depan mungkin bisa dibicarakan lagi (pajak karbon). Kami akui ini adalah niatan mulia,” ujar Ketua Komite Perpajakan APINDO Siddhi Widyaprathama.
Menurut Siddhi pelaku industri harus diberi waktu yang cukup untuk menerima penerapan aturan pajak karbon. Dia juga mengingatkan penerapan perpajakan itu tidak pukul rata. “Itu karbon yang mana, pabrik-pabrik menghasilkan karbon. Jangan sampai jadi pekerjaan rumah baru, sebabkan inflasi, menambah beban lagi,” tuturnya.
Selain itu, Siddhi berharap agar pemerintah turut memberi solusi dalam penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. “Kebijakan baru ibarat bayi baru lahir langsung disuruh lari tentu enggak bisa,” ucapnya.
Senada, Technical Advisor Asosiasi Semen Indonesia Lusy Widowati menyampaikan penerapan pajak karbon ini di luar kesanggupan industri semen. “Industri semen kelebihan pasokan 55 juta ton, utilisasi pabrik hanya berkisar rata-rata 62 persen, dan pabrik baru bahkan hanya 50 persen. Kondisi ini diperberat dengan pandemi. Sehingga pertumbuhan semen pada 2020 minus 10,4 persen,” ujarnya.
Pajak karbon ini, kata dia, akan menurunkan daya saing industri semen di pasar regional dan global. “Di ASEAN kami punya kompetitor semen besar, Thailand, Malaysia, Vietnam. Mereka tidak menerapkan pajak karbon,” ujar Lusy.
Lusy mengatakan, jika pajak karbon senilai Rp 75 perkilogram, maka, beban pajak yang harus dibayarkan industri semen sekitar US$ 3,5 atau Rp 50 ribu per ton dan harga ini hampir 10 persen dari harga jual klinter ekspor industri semen.
“Bayangkan kami punya ekspor 12 juta ton, maka tambahan biaya pajak saja hampir US$ 45 juta, tidak termasuk dari kenaikan biaya produksi dari bahan bakar fosil sebagai bahan bakar utama pabrik semen,” kata Lusy.
Dia menambahkan pajak karbon akan menjadi masyarakat karena akan menaikan harga semen. “Sehingga potensi masyarakat semakin turun untuk membangun rumah dan proyek-proyek infrastruktur akan meningkat,” tuturnya.
Pelaku industri semen, menurut dia, lebih sepakat pada kebijakan perdagangan karbon dibanding pajak karbon.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan karbon, kadar karbon, bahan bakar hidrokarbon yang akan menjadi CO2 dan senyawa lainnya ketika dibakar.
Pajak tersebut sudah diterapkan di beberapa negara dengan perhitungan yang berbeda-beda. Finlandia misalnya sudah menerapkan pada 1990, Swedia dan Norwegia pada 1991. Kemudian India pada 2010, Jepang dan Australia pada 2012, dan Inggris pada 2013.
Di Cina penerapan pajak ini diterapkan pada 2017, begitu juga Afrika Selatan pada 2019. Sedangkan di Asia Tenggara baru Singapura yang menerapkan pajak karbon tersebut.
Pajak tersebut tarifnya sendiri ditentukan berdasarkan per ton CO2 dalam kegiatan produksi. Mulai dari US$ 1-US$ 139 per ton.
Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Kementerian Keuangan, Oza Olavia, mengatakan, niatan penerapan pajak karbon dikarenakan kondisi pemanasan global yang sudah sangat mengkhawatirkan. Menurut dia, Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim.
“Pajak ini merupakan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan menekan emisi karbon sebesar 29 persen secara sendiri atau 41 persen yang dilakukan secara internasional pada 2030,” ujar Oza.
Di samping itu, kata Oza, penerapan pajak karbon diharapkan mendorong konsumen dan pengusaha berperilaku dan berinvestasi pada teknologi yang hemat energi. Dia menjelaskan belanja pemerintah untuk menangani efek gas rumah kaca cukup besar di lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 89,6 triliun.
“Tapi ini juga baru 34 persen pendanaan aspek mitigasinya. Jadi yang dibutuhkan Rp 266 triliun per tahun. Jadi dicari pendanaan yang lain untuk mencapai target pengendalian perubahan iklim,” ujar Oza.