SETAHU para tetangga, Hadisamingun hanya punya seorang anak wanita yang sudah dewasa, bahkan sudah lama menikah. Maka, bulan lalu, sewaktu di rumahnya ada pertunjukan ketoprak, penduduk Desa Logandeng, Gunung Kidul, Yogyakarta, banyak yang bertanya-tanya. Sedang hajat apa dia itu? "Ini perayaan seribu hari wafatnya Mbok Gambyeng, ibu saya," kata Hadi, yang dikenal sebagai pimpinan grup ketoprak Gayatri Budaya. Sebelum meninggal sekitar tiga tahun lalu dalam usia 120 tahun, katanya, Mbok Gambyeng berpesan agar peringatan seribu hari meninggalnya dirayakan secara besar-besaran. Kalau tidak, arwahnya akan mengganggu semua anak cucu dan keturunannya. Tak hanya peringatan seribu hari. Sebelum meninggal, si mbok juga berpesan agar jenazahnya tak usah diiringi dengan doa. Cukup diiringi gamelan dengan gending sukma ilang - arwah melayang. Dan saat hendak dimasukkan ke liang lahad, mesti diiringi beronndongan terasan - persis upacara pemakaman niliter. Semua wasiatnya dilaksanakan dengan patuh oleh anak cucunya. Mereka takut Mbok Gambyeng benar-benar bisa melaksanakan ancamannya. Tak ada yang tahu apa latar belakam, wasiat si mbok yang nyentrik itu. Tapi ia memang seorang seniwati. Selain dikenal sebagai pedagang emas perhiasan dan gamelan, ia juga menguasai hampir semua instrumen gamelan wayang. Keturunannya pun, yang berjumlah enam anak, 63 cucu, dan sembilan cicit, banyak yang berbakat seni. Selain Hadi, seorang cucu Mbok Gambyeng kini menjadi pesinden di KRI Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini