Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah ruang sidang Pengadilan Jakarta Timur, Rabu pekan lalu, suara Abdurrahman Wahid terdengar lantang. ”Jangan sampai negeri ini jatuh ke tangan preman dan Tomy Winata!” kata Gus Dur—panggilan Abdurrahman—yang duduk di kursi hakim dalam acara jumpa pers.
Ia datang buat memberikan sokongan moral kepada Goenawan Mohamad, redaktur senior Majalah TEMPO, yang digugat oleh Tomy Winata, bos Grup Artha Graha, dalam perkara pencemaran nama baik. Mantan presiden itu menyembunyikan rasa gentar sama sekali saat melontarkan pernyataan. ”Saya mau digugat (juga)? Silakan,” katanya.
Dentaman palu hakim yang membuat Gus Dur tampak geram. Jarang-jarang majelis hakim menerapkan sita jaminan dalam delik pers. Tapi kali ini terjadi. Dua hari sebelumnya, rumah Goenawan di Tanah Mas, Jakarta Timur, disita. Penyitaan rumah seluas 300 meter persegi di atas tanah 400 meter persegi ini berdasarkan penetapan Hakim Mabruq Nur pada 25 September lalu. Prosesnya begitu cepat, hanya empat hari (termasuk Sabtu dan Minggu) berselang putusan ini dilaksanakan. ”Apakah pengadilan kita sedemikian efektif dan efisien, atau apakah saya akan lari,” tanya Goenawan keheranan.
Pangkal perkaranya, Agustus lalu Tomy Winata menggugat Goenawan dan PT Tempo Inti Media Harian, yang menerbitkan Koran Tempo, sebesar Rp 21 miliar. Ia merasa dicemarkan nama baiknya oleh ucapan Goenawan yang dikutip koran ini pada 13 Maret silam. Saat itu pendiri Majalah TEMPO tersebut bersama sejumlah tokoh masyarakat datang ke Markas Besar Polri untuk memprotes aksi penggerudukan orang-orang yang diduga suruhan Tomy Winata ke kantor Majalah TEMPO. ”Kedatangan para tokoh masyarakat yang tanpa direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya ini menandakan concern dari banyak orang untuk menjaga supaya Republik Indonesia jangan jatuh ke tangan preman, juga jangan sampai jatuh ke tangan Tomy Winata,” ujar Goenawan ketika itu.
Selain menyita rumah Goenawan, pengadilan juga telah menetapkan sita jaminan terhadap kantor Koran Tempo di kompleks Kebayoran Center, Jakarta Selatan. Hanya, putusan yang ditetapkan Hakim Mabruq pada 29 September lalu ini urung dilaksanakan setelah pihak tergugat melakukan perlawanan. Soalnya, gedung yang ditempati bukanlah aset koran ini, melainkan milik Husein Astrawinata, seorang pengusaha.
Menurut Ketua Pengadilan Jakarta Selatan, Sudarto, yang melaksanakan eksekusi, pihaknya masih mempelajari kasus ini.
Pekan ini sidang perkara Goenawan akan digelar lagi. Rencananya, Darwin Aritonang, salah satu pengacara tergugat, akan mengajukan penolakan terhadap sita jaminan itu. Alasannya? Materi perkaranya amat lemah karena tak ada pencemaran nama baik. ”Tak ada kata-kata tergugat yang menyatakan Tomy Winata adalah preman,” ujarnya.
Yang tak kalah pentingnya, dasar sita jaminan juga rapuh. Hakim menyandarkan ketetapannya pada Pasal 227 (1) HIR (Herziene Indonesisch Reglement) atau Hukum Acara Perdata mengenai sita jaminan. Aturan lawas warisan Belanda ini sejatinya cuma diberlakukan buat para pengemplang utang, dan istilah yang dipakai pun debitor. Goenawan jelas tidak masuk dalam kriteria ini dan perkaranya juga jauh dari urusan utang-piutang. Selain itu, kata Darwin, tergugat bukan seorang kriminal atau koruptor yang setiap saat dapat kabur membawa harta kekayaannya ke luar negeri.
Semestinya, hakim berhati-hati menerapkan pasal tersebut. Soalnya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan semacam yurisprudensi berdasarkan perkara yang pernah divonis lembaga ini terhadap suatu kasus pada 8 Mei 1984. Dari vonis ini, menurut Darwin, terkirim pesan yang jelas: sita jaminan berdasarkan pasal tersebut tidak bisa diterapkan dalam perkara di luar urusan utang-piutang.
Praktisi hukum Luhut Pangaribuan pun mempertanyakannya. Bukan cuma karena landasan hukumnya yang lemah, tapi juga materi gugatannya. Di situ, menurut Luhut, tidak tergambar adanya pencemaran nama baik atau penghinaan terhadap Tomy Winata. ”Sepertinya hakim tidak membaca gugatannya,” kata Luhut. Bahkan, Todung Mulya Lubis, koordinator tim pembela kasus TEMPO, menuding adanya campur tangan pihak luar dalam penetapan itu. ”Tapi saya tidak tahu itu siapa. Tapi bau anyir dalam kasus ini tercium ke mana-mana,” tuturnya.
Reaksi hakim? Menurut Mabruq, penyitaan itu telah sesuai dengan kekhawatiran penggugat jika Goenawan berusaha menghilangkan barang bukti. Tapi ia tidak menjelaskan kaitan rumah yang disita dengan barang bukti. Dengan wajah sedikit tegang, sang hakim hanya mengatakan, ”Itu dilakukan agar kekhawatiran penggugat tidak sia-sia.”
Diakui oleh Mabruq, biasanya pengadilan memberitahukan kepada tergugat dan pengacaranya sebelum diadakan penyitaan. Namun, ia mengatakan tidak tahu-menahu mengapa kealpaan ini terjadi ketika menyita rumah Goenawan. Katanya, ini urusan juru sita.
Segala kejanggalan itu membuat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munarman, mengelus dada. Apalagi nilai gugatan perkara ini begitu besar, tidak sebanding dengan materi gugatan yang lemah. Namun, tidak selantang Gus Dur, dia hanya berharap, ”Selayaknya Mahkamah Agung mengawasi putusan hakim yang kontroversial ini.”
Agus S. Riyanto, Endri Kurniawati, Purwanto (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo