Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Spanduk di atas kita

Spanduk bertebaran melintang jalanan. susunan kata-kata yang dipakai membosankan-gaya birokrat-pejabat dengan sintaksis model sk dan memo kantor. pembuat tak peduli, yang penting tugas selesai. (fk)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA kini yang membaca spanduk? Kecuali bila tak sengaja? Tergantung-gantung di atas kita, melintang jalanan, kain-kain bertuliskan sejumlah kata itu entah apa gunanya. SUKSESKAN PEKAN PARIWISATA. KELUARGA BERENCANA UNTUK MENSUKSESKAN PEMBANGUNAN. DIRGAHAYU .... Mereka cuma hadir di sana, sudah. Rasanya kita membiayai pembelian cat, kain, sejumlah tenaga, dan memesan kalimat-kalimat tertentu -- tapi tidak teramat peduli apakah kata-kata itu bakal diacuhkan atau tidak. Spanduk akhirnya hanya hiasan rutin, dalam rangka suatu kegiatan. Kata "hiasan" pun mungkin tidak tepat. Spanduk itu bahkan mungkin menghalangi harmoni. Bahkan kain terentang, yang mempertahankan diri pada huruf-huruf itu, tak pernah lebih indah ketimbang puluhan papan iklan yang kini memberi warna menyebabkan atau tidak -- di pojok-pojok. Tapi sebagaimana halnya iklan, spanduk juga bisa mencerminkan sesuatu tentang situasi. Ia bisa bererita tentang hubungan kita kini dengan kata-kata, dan seketika itu juga, tentang hubungan kita dengan orang banyak. Dari kata-kata yang tertera di sana bisa terlihat bahwa mungkin si pembuat (sebuah panitia lokal, atau sebuah jawatan pemerintah) tak menyadari lagi bahwa kalimat-kalimatnya sudah amat membosankan. Bahwa inspirasinya tinggal nol. Bahwa ia tak bisa lagi menggugah. Mungkin keyakinan memang tak penting baginya. Sebab mungkin yang utama baginya hanya ini: "Saya telah menjalankan instruksi, yakni membuat spanduk, titik". Artinya, ia tak begitu repot memikirkan efektifitas kata bagi orang lain. Artinya, ia mungkin hanya penyangga suatu "gaya" yang umpanya tengah dominan, gaya birokrat-pejabat, yang dunia sintaksisnya terbatas pada SK dan memo-memo kantor. Dari situ ia tak berani menyimpang. Ia ingin patuh. Ia tak ingin melakukan sesuatu yang menarik perhatian orang di luar. Ia takut bahwa popularitas, usaha menarik hati orang banyak, adalah sesuatu yang kurang wajar. Ia memang bukan orang politik, yang hidupnya terangsang oleh pergulatan dan pergaulan dengan khalayak, di mimbar atau di jalanan. Maka spanduk yang dibikinnya, anjuran-anjuran yang dimaklum-kannya, mungkin memang tak dimaksudkan menggerakkan hati masyarakat meski dalam perkara segawat keluarga berencana. Spanduk itu mungkin cuma membuktikan suatu kegiatan, dengan suatu anggaran, untuk suatu proyek -- supaya pak atasan ini mengangguk-angguk, oke, oke. Und ob ihr tausehd Worte habt: Das Wort, das Wort ist tot. --Karl Wolfskehl

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus