SEORANG pembaca minggu lalu menulis dalam rubrik surat-surat:
untik artikel TEMPO yang membicarakan soal politik luar-negeri
-- khususnya tentang Timor-Timur -- majalah ini diberinya
Bintang klas III. Sedang Bintang klas I untuk harian Merdeka,
dengan seri tulisan B.M. Diah yang mengecam politik luar negeri
kita.
Di TEMPO kami menerima pemberian Bintang itu dengan senang:
lebih baik dapat nomor buncit daripada tidak sama sekali.
Menjadi dorongan bagi kami juga untuk berpedoman: lebih baik
bicara, sedikit lambat, sedikit terbatas, daripada membisu sama
sekali dalam perkara ini.
Sebab politik luar negeri juga adalah "politik". Kata "politik"
selama ini dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang "kotor"
Padahal tak selamanya: suatu politik menyangkut kehidupan
masyarakat. Ia diproses dengan kesadaran, bahwa ada kepentingan
masyarakat yang mungkin dipengaruhi oleh suatu keputusan.
Seharusnya, selama kita masih merasa bernegara (artinya hidup
bersama rakyat), suatu keputusan politik -- juga politik luar
negeri -- tidak cuma hasil keasyikan beberapa gelintir orang.
Walaupun orang itu pandai, berjasa, patriotik dan sebagainya.
Sebab, semakin terbiasa kita menentukan keputusan tanpa
menimbang dulu suara rakyat -- baik karena kita tak lagi
memerlukan itu, ataupun karena kita takut akan timbul kegaduhan
orang ramai -- semakin sedikit agaknya kepekaan kita, yakni
kepekaan terhadap kenyataan, bahwa negeri ini bukan cuma milik
kita. Padahal negeri ini milik semua warganegara -- termasuk
yang belum sempat berjasa, misalnya generasi mendatang.
Tanpa menyadari makna politik yang semacam itu, keputusan apapun
yang diambil bagaikan sekedar keputusan komputer. Betapapun
hebatnya komputer itu sulit untuk membayangkannya sebagai
pengarah sebuah negeri.
Maka dengan segala keterbatasan kami, laporan utama ini kami
turunkan. Di dalamnya, sebagai pusat dari cerita, ialah
wawancara dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik. Apa yang
selalu menarik dalam Adam Malik ialah, bahwa ia tidak sulit
untuk ditemui wartawan, yang ingin menanyakan hal-hal yang
betul-betul hidup dalam masyarakat. Tak semua menteri atau
pejabat lain bersikap seperti itu. Misalnya baru-baru ini ada
artikel dalam majalah Far Eastern Economic Review yang terbit
di Hongkong. Artikel itu, menurut penilaian beberapa kalangan
resmi menyalahkan sikap Indonesia dengan asal-usulnya buat KTT
ASIAN nanti. Pers Indonesia diberitahu soal artikel itu. Tapi
baru setelah agak lama, wartawan-wartawan Indonesia tahu duduk
persoalannya. Mengapa? Sebelumnya pers tak diberitahu apa-apa,
sedikit pun, perkara posisi Indonesia untuk KTT ASAN nanti,
serta apa saja yang bakal jadi topik di sana. Memang, ada
wartawan yang sudah tahu barang sedikit tapi berdasarkan
bisik-bisik. Mencocokkannya dengan sumber yang berwenang, untuk
menyebar-luaskannya buat khalayak ramai (karena itu menyangkut
kepentingan mereka), waktu itu sungguh mustahil. Untunglah, Adam
Malik mau menjawab .
Laporan ini merupakan hasil kerja team yang terdiri atas Salim
Said, George.Y. Adicondro dan Goenawan Mohamad, dengan
koordinator Fikri Jufri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini