Tekstil Impor untuk Siapa
KEMENTERIAN Perdagangan tidak perlu tergesa-gesa menerapkan aturan baru impor bahan baku tekstil. Tanpa persiapan matang, keputusan membuka keran impor bisa mendorong pemerintah ke jurang yang lebih dalam. Pasokan bahan baku yang melimpah mengakibatkan industri hulu sulit bangkit dari keterpurukan.
Tak cuma membolehkan produsen, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 memungkinkan pemegang angka pengenal importir umum (API-U) mengimpor kain, benang, dan serat. Bahan baku ini bisa diperdagangkan kembali untuk memenuhi kebutuhan. Masalahnya, tak ada jaminan barang baku impor hanya dijual untuk pelaku usaha kecil dan menengah- seperti cita-cita pemerintah.
Kesulitan lain adalah memastikan jumlah impor bahan baku sesuai dengan kebutuhan. Data ini seharusnya menjadi pijakan sebelum melonggarkan ketentuan impor. Di lapangan, Kementerian Perindustrian sulit mendata kebutuhan industri tekstil skala kecil dan menengah.
Agar barang tidak merembes ke mana-mana, pemegang izin API-U sudah selayaknya menjalin kontrak dengan industri tekstil kecil dan menengah. Pelaku usaha hanya boleh mengambil bahan baku impor melalui pusat logistik berikat. Mekanisme ini diharapkan memudahkan pencatatan serta mencegah terjadinya impor borongan.
Pemerintah harus memelototi kinerja lembaga surveyor. Merekalah yang nantinya mengecek nama dan alamat importir, jenis dan jumlah barang, serta jadwal pengiriman dan tujuan barang. Surveyor mesti memverifikasi bahan baku impor sesuai dengan kebutuhan industri kecil dan menengah. Sayangnya, peraturan Menteri Perdagangan belum mengatur tegas hal ini. Padahal surveyor juga harus memastikan bahan baku yang didatangkan pemegang angka pengenal importir produsen (API-P) hanya digunakan sendiri dan tidak melebihi kapasitas produksi.
Sejumlah celah itu mesti diperhitungkan agar pelaksanaan di lapangan lebih matang dan tidak mengundang kecurigaan. Apalagi ketentuan impor ini lahir setelah Kementerian Keuangan melarang impor borongan. Asosiasi Pertekstilan Indonesia, salah satu motor lahirnya regulasi ini, berdalih keran impor harus dibuka karena industri kecil dan menengah kesulitan bahan baku. Faktanya, pelaku usaha konfeksi masih bisa menyerap bahan baku lokal. Kementerian Perindustrian tidak pernah menerima keluhan industri skala kecil dan menengah sejak impor borongan ditutup.
Keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani melarang impor borongan sudah tepat. Selama bertahun-tahun, praktik ini memberi celah masuknya barang tekstil selundupan. Tak cuma merugikan negara, impor gelondongan memukul industri tekstil dalam negeri. Total kerugian tahun lalu mencapai Rp 30 triliun.
Pelarangan impor borongan terbukti membantu produsen bahan baku lokal. Penjualan benang dan serat lokal di pasar dalam negeri melejit rata-rata 30 persen. Utilisasi pabrik naik 5-10 persen. Industri tenun dan rajut ikut bergairah. Tak aneh bila keputusan pemerintah membuka impor membuat pabrikan bahan baku ketar-ketir.
Kementerian Perdagangan harus menambal kelemahan regulasi. Salah satunya memastikan jumlah suplai dan permintaan seimbang. Usul Kementerian Perindustrian agar impor hanya diberikan untuk bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri- seperti benang sutra dan kapas- selayaknya disokong.
Pemerintah mesti mengawasi ketat kegiatan impor bahan baku tekstil. Jangan sampai keputusan membuka keran impor hanya menguntungkan sekelompok pedagang dan importir yang selama ini mengeruk rezeki dari impor borongan.. tempo : 173078962274.
KEBIJAKAN pemerintah membuka keran impor bahan baku tekstil menuai polemik. Para produsen tekstil menilai impor yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tersebut bakal memberatkan pabrikan di sektor hulu. "Dengan impor itu, industri hilir bakal memilih tekstil dari luar negeri," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wiraswasta, Kamis pekan lalu.
Menurut Redma, saat ini
...
Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.
Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini