SETIAP hari ratusan, gadis remaja berkerudung putih keluar
masuk kompleks pesantren itu. Suasana keagamaan memang terasa di
sekitar tempat itu. Sebab di sana memang terdapat pesantren
khusus wanita: Pesantren Putri Wachid Hasyim, diambil dari nama
ulama terkenal dan bekas Menteri Agama K.H. Wachid Hasyim
Pesantren yamg berdiri sejak 1954 di Jalan Sudarsono, Bangil
(Kabupaten Pasuruan, Ja-Tim) itu, kini mengasuh sekitar 400
santri putri. Mereka belajar agama di berbagai tingkat, mulai
dari TK SD (ibtidaiyah), madrasah khusus agama (diniyah), SM lF
(tsanawiyah) maupun pendidikan khusus untuk para santri
putri--berikut asrama yang juga ada di kompleks itu. Pada bulan
Ramadhan pesantren putri ini semakin ramai, karenanya banyak
santri musiman yang mondok di sana.
Dari beberapa daerah, banyak orang daung mempercayakan anak
gadisnya menuntut ilmu agama di pesantren yang didirikan oleh
almarhum K.H. Syakur itu. Tapi pengurusn ya sekarang, Moh.
Choiron Syakur, akhir-akhir ini resah.
Sebab berdempetan dengan pesantrennya, hanya dipisahkan sebuah
gang selebar 4% meter, akan didirikan sebuah gedung bioskop.
"Kalau pemerintah mengiinkan berdirinya gedung bioskop itu,
berarti kami digusur secara mental," keluh Choiron. Memang bisa
dibayangkan jika gedung bioskop itu kelak jadi berdiri. Bukan
saja reklame-reklame bioskop itu akan menjadi pemandangan yang
asing bagi para santri, tapi juga akan mengganggu ketenteraman
para santri.
Didukung para ulama Pasuruan Choiron kemudian menulis surat
keberatan kepada berbagai pihak, sampai pula kepada Gubernur
Ja-Tim. Bupati Pasuruan, Haji Djliteng Soejoto, akhirnya
memutuskan: "Bangunan itu sudah saya perintahkan untuk distop,
sementara prosesnya belum selesai." Tapi hal itu bukan merupakan
jaminan bahwa pembangunan gedung bioskop tersebut betul-betul
dibatalkan.
Sebab, seperti kata Letkol (Purn.) Kusnan--pemilik tanah tempat
bioskop itu akan didirikan--ia sudah mendapat dukungan moril
dari Muspika dan beberapa pejabat pemda. "Dan lokasinya pun
sudah disetujui," kata bekas Dandim Ngawi dan Tuban itu. Pihak
panitia peremajaan Kota Bangil pun kabrnya mendukung Kusnan dan
baik, menyalahkan Choiron Padahal pem sendiri belum memberi
izin bangun bioskop yang akan diberi nama "SII" itu.
Partner usaha Kusnan ternyata seorang karyawan Pemda Surabaya.
Bagi pemilik modal ini, kalau pun pemerintah tidak mengizinkan
pembangunan bioskop tersebut, "biarlah jadi gedung pertemua
saja." Di pihak Kusnan, nampaknya masih ada usaha untuk
mengegolkan bioskopnya. Misalnya dengan menawarkan dana untuk
membangun atau memperluas pesantren. Tapi para pengurus
pesantren menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
Kejadian yang mungkin bisa mengundang konflik sosial seperti
itu, bisa saja terjadi di daerah atau di kota kecil. Tapi di
kota besar seperti Jakarta, kehadiran sebuah gedung bioskop yang
berdekatan dengan bangunan keagamaan juga mendapat tantangan
keras. Tiga tahun lalu sebuah bangunan pertokoan dan hiburan,
Selmis (Selektif Mini shop), dibangun di kawasan Gudang Peluru,
Kampung Melayu, Jakarta.
Letaknya sekitar 100 meter dari pesantren terkenal
Ath-Thahiriyah yang sudah berdiri sejak 30 tahun lampau. "Kami
tidak setuju dan minta agar bangunan itu dibongkar," kata Drs.
H.M. Syatiri Ahmad, pimpinan At-Thahiriyah. Letkol (Purn.) El.M.
Thoha Ismail, pimpinan PT Taktis yang akan membangun kompleks
Selmis berusaha membujuk dengan dana Rp 20 juta untuk pesantren,
tapi ditolak.
Protes pun dilancarkan, sekitar 1.000 orang menandatanganinya.
Berkat pendekatan yang dilakukan oleh K.H. Idham Chalid
(pelindung pesantren), pembangunan Selmis pun diurungkan. Tapi
sebelum itu muncul teror lewat telepon dan gedoran tcngah malam
di rumah kedua pimpinan Ath-Thahiriyah, K.H. Rahili dan Syatiri
Ahmad. "Mereka berseragam hijau, mengendarai jip," tutur
Syatiri.
Protes Gencar
Sekarang bangunan Selmis milik serang pengusaha Medan itu
telantar. "Sedang diusahakan menjadi bangunan pertokoan," kata
seorang petugas PT Taktis. Sebuah gedung bioskop lain yang
dibangun di tengah kompleks keagamaan di Kramat Jati (juga di
Jakarta) terpaksa pula gulung tikar. Usaha pemilik bioskop untuk
"menyumbang" dana Rp 25 juta kepada pesantren juga ditolak tanpa
kompromi.
Bioskop "Jati Ria" itu memang dibangun di tengah-tengah
perkampungan yang begitu kuat suasana keagamaannya. Bioskop itu
terletak 20 meter dari Masjid Al-Ihsan. Di depannya berdiri
Musholla Nurul Huda dan Kantor Majlis Ta'lim Al-Islamiyah. Di
sebelah kiri sekitar 150 meter terdapat Masjid Al Falah. Bioskop
"Jati Ria" baru berusia5 tahun, sementara bangunan-bangunan
keagamaan di sekitarnya sudah berumur puluhan tahun.
Mula-mula Pemda DKI memberi izin kepada CV Puteri Hijau yang
memba| ngun gedung tersebut untuk gedung bioskop. Tapi setahun
kemudian --karena muncul protes gencar dari masyarakat Kramat
Jati --izin tersebut dibatalkan. Muchtar Tan, pengusaha Puteri
Hijau, masih berusaha mendapatkan izin kembali tapi masyarakat
pun tak jemu-jemunya melancarkan protes--sampai lebih dari 10
kali.
Mendadak bulan Juli lalu muncul surat dari Biro Kesra DKI,
mengizinkan Bioskop "Jati Ria" memutar film sejak 15 Juli 1981
sampai 14 Januari 1982. Tapi sebelum izin itu selesai dijalani,
awal Agustus lalu muncul lagi protes masyarakat. Dan bioskop pun
ditutup.
Masyarakat Kramat Jati jadi lega. Mereka berharap agar bangunan
tersebut digunakan untuk kantor kecamatan, kantor pos, atau
keperluan umum lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini