Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Teh

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin inilah zaman, abad ke-21, ketika kebakhilan menghalalkan dirinya dengan keadilan.

Dimulai dengan teh, sekitar 400 tahun yang lalu—ketika orang belum belajar dari kesalahan kolonialisme. Pada 1773, pemerintah konservatif Inggris memberi hak monopoli perdagangan teh kepada perusahaan swasta East India Company. Seperti VOC Belanda di Indonesia, East India Company mendapat kekuasaan yang untuk zaman ini tak masuk akal: ia boleh me­naklukkan, memerintah, dan mereguk keuntungan tanah asing. Dalam hal ini: India.

Demikian berkuasanya perusahaan swasta itu di negeri jajahan, hingga kekayaan pun lekas terhimpun. Tapi, seperti umumnya pada harta yang terlalu cepat di tangan kekuasaan yang teramat besar, penyelewengan pun berjangkit. Pejabat East India Company ramai-ramai korup, sementara perusahaan mereka sendiri pelan-pelan terancam bangkrut (sebagaimana VOC juga bangkrut).

Tahun 1773 adalah tahun ketika kejatuhannya sangat dekat, dan pemerintah Inggris datang menolong. Diputuskan untuk membantu Kumpeni dengan cara menjualkan tehnya—komoditas yang nyaris tak ada pembelinya karena mahal. Harganya naik karena pajak yang dipungut atas perdagangan teh; akibatnya di pelbagai koloni, ke mana barang itu dijual, muncul boikot. Orang Amerika, misalnya, lebih baik menyelundupkan teh dari Belanda.

Pemerintah Inggris mencoba memperba­iki keadaan. Diputuskan, tak ada pajak yang ditarik pada teh sebelum komoditas ini dikirim ke koloni Inggris. Teh bisa diimpor koloni itu tanpa bea masuk, hanya dengan pajak ringan. Dengan demikian orang di Amerika, terutama, dapat memperoleh teh murah.

Tapi, sebagaimana dituturkan sejarawan Page Smith dalam A New Age Now Begins, sebuah catatan sejarah Amerika, pemerintah Inggris tetap melakukan satu kesalahan serius: pemberian monopoli kepada East India Company dalam perdagangan ini. Sebab, di ujungnya, monopoli juga berlaku di Amerika: hanya pedagang yang dekat dengan Gubernur Hutchinson, wakil Kerajaan Inggris, yang bisa ikut. Teman, keluarga, anak.

Orang-orang Amerika melihat itu dengan cemas, takut bila komoditas lain juga akan diatur demikian. Tak dapat diabaikan tentu rasa marah, terutama di kalangan pedagang, karena mereka tak diperbolehkan bersaing. Monopoli menampakkan ketakadilannya: di New York seseorang menulis di koran setempat tentang "kebiadaban", barbarity, yang dilakukan East India Company terhadap "orang Asia". Bersama itu, orang Amerika menganggap kemerdekaan mereka diabaikan. Bagi mereka, pajak atas teh, betapapun ringannya, diberlakukan tanpa persetujuan mereka—sebagaimana halnya pemberian monopoli. Pada dasarnya, mereka menuntut bangunan kekuasaan yang bisa berbagi.

Kasus teh tak terpisah dari proses ketakpuasan orang Amerika terhadap kolonisasi yang berlaku atas diri dan wilayah mereka—sebuah ketakpuasan yang sudah lama menyebar. Para "patriot" tak hanya muncul di sekitar perdagangan teh, dan tak cuma di satu daerah.

Tapi di Boston-lah sejarah dibuat. Ketika di akhir 1773 kapal Dartmouth datang membawa teh dari Inggris, perlawanan sudah berkecamuk sebenarnya. Orang-orang Boston sudah menggerebek para pedagang teh hingga ada yang melarikan diri. Kampanye anti-teh ("minuman ini akan membuat kelaki-lakian orang Amerika melemah", kata para dokter yang patriotik) sudah dilancarkan. Tapi Gubernur Hutchinson berkeras. Sementara di New York kapal pembawa teh mendapat ancaman rakyat hingga memutuskan kembali ke London, di Boston sang Gubernur tak membiarkan itu. Jalan keluar dari pela­buhan ditutup.

Pada 17 Desember, para patriot bertindak. Dengan menyamar sebagai orang Mohawk—mungkin karena orang Indian berada di luar hukum—mereka naik ke kapal dan membuang kotak-kotak teh yang ada di sana ke laut. Mereka dengan jelas menantang pemerintah Inggris. Sebuah peristiwa bersejarah, "The Boston Tea Party", menandai awal Revolusi Amerika.

Empat ratus tahun kemudian, aksi itu jadi kiasan yang berbeda.

Hari-hari ini, di Amerika Serikat ada orang-orang yang merasa tergusur. Mereka kelas menengah yang merasa terancam punah oleh ongkos hidup yang naik—dan marah karena dengan uang pajak mereka Negara memberi subsidi kepada orang-orang yang "sudah selayaknya melarat", the losers. Mereka tak ingin membayar pajak. Mereka bergabung dalam gerakan "Tea Party". Mereka mengacu ke Boston 1773.

Tapi ini zaman lain. Dengan segera, gerakan "Tea Party’" bertaut dengan orang-orang yang tak ingin berbagi. Mereka anggap Negara tak boleh punya peran. Negara harus minimal saja hadir, dan tak perlu membuang-buang uang untuk membantu orang miskin. Bagi mereka, tiap orang harus berusaha sendiri untuk bangkit. Seperti orang-orang Boston yang memboikot perdagangan teh atas nama keadilan, mereka mencoba memakai alasan yang sejajar.

Tapi ada yang palsu di baliknya.

Terutama karena, seperti ditulis dalam koran Inggris The Guardian, "Tea Party’ tak dimulai oleh orang yang kepepet. Sebuah organisasi yang didanai miliarwan Charles dan David Koch, American for Prosperity, membangkitkannya. Selama 15 tahun, tulis The Guardian, Koch bersaudara—yang memiliki pelbagai perusahaan tambang dan pengolahan kayu—menghabiskan US$ 85 juta untuk melobi keputusan yang mengurangi pajak orang kaya….

Tampak, kebakhilan mencoba memakai kiasan yang mengingatkan orang pada amarah orang-orang yang tak punya kekuasaan dan ingin berbagi. "Tea Party" 2011 mungkin sebuah parodi—tapi yang mirip tipu daya. Bagi mereka "pesta minum teh" sebuah upacara kapitalisme yang telah berjasa menyebarkan barang paling jauh itu ke pasar yang luas—dengan sejarah kerakusan yang mereka anggap sah.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus