Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kilat" di Sulawesi Selatan (Sul-Sel) menangani lawan yang jelas dinyatakan sebagai pemberontak, kelompok Kahar Muzakkar. Operasi kedua, "musuh"-nya adalah mahasiswa, purnawirawan, dan pers yang terlibat dalam gerakan yang disebut "gerakan inkonstitusional" untuk "mendiskreditkan pemerintah" yang menjurus ke usaha menggagalkan sidang umum MPR. Perintah operasi ini berasal dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
"Kilat" di Sul-Sel adalah sebuah operasi tempur, dilaksanakan Himawan dengan penuh pengabdian seorang prajurit. "Kilat" di Bandung tidak jelas kategorinya: apakah termasuk operasi militer atau operasi keamanan dalam negeri. Tak jelas pula rules of engagement (keterlibatan pasukan)-nya. Di sini Himawan menolak mengambil tindakan militer. Ia memilih pendekatan teritorial. Namun, komando atasan menilainya lamban. Ia pun dianggap membangkang. Kekerasan akhirnya dilakukan, tapi oleh pasukan lain dari luar komando Himawan.
Sebagai Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah Jawa Barat, Himawan Soetanto seharusnya taat pada perintah Jakarta. Tapi selaku Panglima Kodam Siliwangi, ia terutama memerankan diri sebagai pembina hankam wilayah Jawa Barat. Sebagai pembina teritorial, ia tidak mau begitu saja mengikuti perintah Panglima Kopkamtib untuk main gebuk.
Kepada para atasannya di Jakarta ia mengatakan, kalau toh harus digunakan kekerasan militer, itu hendaknya dicadangkan benar-benar sebagai last resort. Kerusakan akibat kekerasan militer dikhawatirkannya akan lebih parah dan lama disembuhkan. "Tentara akan dibenci," katanya. "Siliwangi akan sulit dimaafkan oleh rakyat Jawa Barat, hanya karena mengikuti kepentingan politik sesaat."
Strategi Tak Langsung
Strategi yang ditempuh Himawan adalah tidak melakukan tindakan langsung terhadap lawan, melainkan secara tak langsung, dengan menumbuhkan kekuatan masyarakat untuk tidak memihak gerakan mahasiswa. Karena tidak punya pijakan basis massa yang kuat, begitulah logikanya, gerakan itu akhirnya akan surut sendiri.
Ia menemui para ulama dan tokoh masyarakat. Ia menghadap sesepuh TNI dan Siliwangi, A.H. Nasution dan H.R. Dharsono, yang disebut-sebut berada di belakang gerakan mahasiswa. Bersamaan dengan itu dilakukan "pengikatan", menjaga mahasiswa agar tidak keluar dari kampus, agar tak terjadi kaitan atau bentrokan dengan massa di jalan. Sejak Oktober 1977 hingga Januari 1978, ia berkali-kali menekankan strategi itu dalam setiap arahannya kepada jajaran Kodam Siliwangi, garnisun ABRI, bahkan juga Golkar dan AMPI.
"Saya memang mengerahkan pasukan dan panser mengepung Kampus ITB pada 28 Oktober 1977, saat dewan dan senat mahasiswa se-Indonesia melakukan apel besar dan mencetuskan ikrar bersama," tutur Himawan. "Tapi pimpinan mahasiswa sendiri yang mengurungkan niat mereka turun ke kota. Mereka cuma berkeliling mengarak poster-poster besar dari Jalan Ganesha ke Juanda (Dago)-Dayang Sumbi-Tamansari, lalu masuk lagi ke Kampus ITB."
Mahasiswa membentangkan spanduk 50 meter di pagar luar kampus. Tulisannya amat mencolok: tidak percaya lagi pada kepemimpinan Soeharto. Prajurit Siliwangi membiarkan saja. "Malah kemudian saya dengar prajurit-prajurit itu berbaur dengan mahasiswa dan pada main gaple di sana," Himawan menambahkan.
Himawan menyebut kebijakannya sebagai strategi pendekatan tak langsung, diilhami teori Liddel Hart (strategy of indirect approach). Strategi ini rupanya berhasil, hingga ketika para koleganya di Jakarta panik dan bikin crisis center menghadapi peningkatan aksi mahasiswa, Mayjen Himawan sendiri tenang-tenang saja. Kegiatan politik mahasiswa dibiarkannya, selama itu terbatas di dalam kampus. Spanduk anti-Soeharto pun dibiarkan terpampang di pagar ITB. Himawan tetap menerima kedatangan delegasi mahasiswa untuk berdialog.
"Saya melihat gerakan mereka sebagai kontrol sosial yang wajar, hanya gerakan moral," katanya. "Dan saya menganggap perjalanan ke sidang MPR sudah aman. Golkar memperoleh 62 persen suara pemilu. Dengan suara mayoritas, sudah dipastikan Pak Harto mendapatkan mandat baru untuk meneruskan jabatan presiden. Rakyat Jawa Barat sendiri melalui DPRD-nya telah mengusulkan agar Pak Harto dicalonkan kembali."
'Befehl Ist Befehl?'
Tapi pimpinan ABRI dan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban di Jakarta memakai kacamata berbeda. Urusan Bandung mereka pandang serius. Gerakan mahasiswa harus dipadamkan, kampus harus diduduki, aktivis mahasiswa, dosen, dan "dalang" di belakangnya harus ditangkap. Dan koran-koran yang "mengipasi" harus diberangus.
Begitulah, pada 18 Januari 1978, Kopkamtib melancarkan operasi "Kilat", yang uraiannya berbunyi "harus gerak cepat" dan bersifat shock treatment. Operasi yang digelar Pangkopkamtib Laksamana Sudomo itu berisi empat gerakan: 1. Menangkap serentak semua pimpinan dewan dan senat mahasiswa yang telah menandatangani "Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977"; 2. Melokalisasi dan menangkap dalang dari luar yang menggerakkan pressure group mahasiswa; 3. Melarang terbit untuk sementara waktu media massa yang terus-menerus mengipasi (Koran Kampus, Sinar Harapan, Kompas, Pelita, Merdeka); 4. Menindak tegas perwira tinggi ABRI yang memberi angin kepada gerakan mahasiswa.
Himawan mengetahui penangkapan terhadap 170 mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Bandung, karena itu dilakukan oleh aparat Pelaksana Khusus Daerah. Kemudian, 17 orang diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (antara lain Al Hilal Hamdi, Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Imaduddin Abdulrahim), sisanya dibebaskan.
Rumah Rektor ITB, Iskandar Alisyahbana, di Jalan Sulanjana diberondong tembakan. Pangdam Siliwangi tak tahu-menahu tentang insiden ini. Karenanya, ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Prof. Iskandar menemuinya dan bertanya dalam bahasa Belanda: "Mengapa Anda bertindak begitu pengecut?"
Ia juga tidak tahu tentang shock treatment brutal oleh kesatuan militer ke Kampus ITB dan Universitas Padjadjaran, dini hari 1 Februari 1978. Ia memastikan bahwa penembak gelap dan pasukan penyerbu ke ITB dan Unpad itu bukan Siliwangi. Perintah penyerbuan datang dari luar dan memakai pasukan luar. Operasi tempur Kopkamtib telah melangkahi operasi teritorial Pangdam Siliwangi.
Belakangan diketahui bahwa kekerasan militer itu ditempuh bukan sekadar untuk memulihkan ketertiban dan mengamankan sidang umum MPR, tapi karena Rektor ITB dan Pangdam Siliwangi dianggap membiarkan Presiden dipermalukan oleh mahasiswa dengan spanduk 50 meter itu. Himawan juga terkejut dengan kepekaan Pak Harto akan hal-hal personal. Ketika Presiden menerimanya di tahun 1979, ia mendapat pertanyaan yang susah dijawab: "Apa betul anak Heri Akhmadi (Ketua Dewan Mahasiswa ITB) yang baru lahir diberi nama Gempur Soeharto?"
Peristiwa ITB adalah gerakan terakhir mahasiswa sebelum akhirnya, 20 tahun kemudian, bangkit kembali dan menumbangkan Soeharto. Dua tokoh gerakan 1978, Rizal Ramli dan Al Hilal, kini duduk di kabinet. Sementara itu, bagi tentara, tahun 1978 adalah tahun terakhir ketika para komandan teritorial masih mencoba arif dan cerdas dalam menanggapi perintah dari atas. Dalam perkembangannya komando teritorial (Kodam, Korem, Koramil) kian mengkristal menjadi pembina dan pengendali kekuasaan monolitik Orde Baru di daerah.
Akibatnya, setiap aspirasi di daerah yang oleh penguasa dianggap ganjil ("inkonstitusional") digilas oleh mesin militer. Daftarnya panjang: Tanjungpriok, Talangsari (Lampung), Haurkoneng (Sumedang), Waduk Nipah (Madura), Marsinah, Bantaqiah…. Semuanya melibatkan aparat teritorial. Semuanya kemudian mengemukakan pembelaan standar: "hanya menjalankan perintah atasan".
Memang, salah satu sumpah prajurit TNI adalah "taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah dan putusan". Tapi, sumpah yang diterapkan secara robotic hanya mengingatkan kita pada tentara Nazi, yang dari serdadu sampai jenderalnya menyatakan dengan khidmatnya: "befehl ist befehl". Betulkah perintah adalah perintah?
(Bahan dipetik dari wawancara dengan Prof. Iskandar Alisyahbana dan Letjen TNI (Purn.) Himawan Soetanto pada 1996, untuk penyusunan biografi Himawan Soetanto oleh penulis.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo