NATAL belum tiba, ketika para biarawati itu dibunuh di El
Salvador. Liga suster dari ordo-ordo Maryknoll dan Ursuline, AS,
tambah seorang wanita pekerja sosial dari negeri yang sama,
dibantai di negeri Amerika Latin yang rusuh itu. Kalangan
tentara sendiri dikatakan terlibat dalam makar tersebut --
setidaknya itulah yang menyebabkan Pemerintah AS menyatakan
menghentikan bantuan ekonomi dan militernya kepada El Salvador.
Sedang Ketua Konperensi Nasional Uskup Katolik AS, Monsigneur
John Roach, menyerukan pemerintah negara itu "memenuhi kewajiban
elementernya": mengawasi angkatan bersenjatanya sendiri, di
samping menghentikan tekanannya kepada gereja dan gerakan
rakyat.
Kekerasan, itulah tema tahun ini. Bahkan kekerasan
cenderung meningkat: sebuah bayang-bayang suram, yang menudungi
sebuah ensiklik yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus 11 awal
Desember--persis satu hari sebelum mayat para non itu
diketemukan.
Dalam 83 halaman yang tenang, ensiklik yang diberi judul
Penuh Belas Kasihan itu antara lain menyebut "berkembangnya
perasaan terancam" di mana-mana, dalam hubungan dengan konflik
dan masa depannya. Penyalahgunaan kekuasaan, penyiksaan secara
sistematis, pengacauan ide tentang keadilan, antara lain,
terhitung lebih besar dari yang sudah.
Gereja, karena itu, "sungguh hidup secara otentik bila ia
memproklamasikan kasih"--di saat-saat dirasakan "kurangnya
keberanian untuk mengucapkan kata kasih" itu. Dengan kata lain,
di waktu orang tidak lagi percaya, di waktu orang selalu "ingin
membalas setimpal", dan itulah distorsi pengertian keadilan,
menurut ensiklik, gereja mestilah sebuah rumah teduh yang tidak
terlibat aksi.
Betapa tidak begitu gampang pelaksanaan ajaran itu,
terlihat dari misalnya kritik Paus sendiri tahun lalu kepada
para pastor di Amerika Latin yang benarbenar menjadi aktivis dan
sebagiannya Marxis tulen -- demi membela rakyat tcrhadap
penindasan para penguasa yang tak lain orang-orang Katolik. Dan
betapa sukarnya membedakan aktivitas itu dengan integrasi Gereja
di Polandia dengan rakyat, di bawah rezim yang kebeulan komunis.
Tapi ensiklik kedua dalam masa kepausan Karol Wojtyla ini
(yang pertama Maret tahun lalu), yang boleh menjadi pusat
berbagai peristiwa yang khususnya menyangkut dunia Katolik tahun
ini, tidak hanya bicara soal kekerasan yang lebih fisik.
Melainkan juga, mengulangi hal-hal yang diputuskan dari Sidang
Sinode Vatikan September lalu, menyinggung masalah "kekerasan
terhadap keluarga".
Teater Paus
Dunia materialistis-atheistis, yang erat hubungannya dengan
kekacauan di muka bumi, rupanya juga menerjang tembok-tembok
rumah tangga: menyediakan berbagai fasilitas yang dinilai
meredusir harkat kemanusiaan dan relijiusitas. Pengguguran
kandungan, yang tak lain dari pembunuhan, penggunaan alat-alat
kontrasepsi dalam KB, sterilisasi, termasuk yang perlu
disodorkan kepada umat sebagai bernilai negatif. Bahkan Sinode
Vatikan mengusulkan sebuah piagam internasional tentang hak-hak
keluarga yang antara lain menekankan hak suami-istri untuk
memperoleh anak seberapa mereka mau.
Kalangan umat -- di Barat, khususnya--tidak menganggap
butir di atas itu "lebih kuno" dibanding misalnya penegasan
kembali penolakan Gereja terhadap perceraian maupun hubungan
seks sebelum nikah. Nilai-nilai mutakhir yang tumbuh di kalangan
umat sendiri mendorong sebagian pastor dalam sidang
"memperjuangkan" kemungkinan sikap Gereja yang lebih longgar:
para uskup dari AS, Kanada, Meksiko, misalnya.
Uskup Besar John D. Quinn dari San Fransisco, dalam satu
konperensi pers di Roma, boleh menjadi contoh gembala yang
secara Jelas menggambarkan tuntutan umat tersebut. Ia menyitir
penelitian Universitas Princeton, yang misalnya mengemukakan
bahwa 76 ,5 % wanita Katolik Amerika menggunakan segala :alat KB
yang dilarang Gereja--dan bahkan hanya 29% dari para pastor
Amerika yang percaya bahwa kontrasepsi memang amoral.
Ajaran formal memang, agaknya, harus tetap bisa dinilai
sebagai tonggak yang tak mudah goyah -- dan karena itulah
diperlukan di tengah gebalau. Dan bila umat tidak menyambut
seruan Humberto Kardinal Medeiros dari Boston misalnya, bukanlah
lantaran mereka tak butuh Gereja. Kardinal, di masa pemilihan
presiden AS dan para senator tempo hari, menghimbau agar umat
tidak memilih para calon yang mendukung pengguguran legal.
Tetapi bahkan Senator Robert Kennedy dan Robert F. Drinan
mendukung calon Barney Frank, tokoh pro-aborsi, sedang mereka
sendiri Katolik yang taat. Sementara tajuk sebuah penerbitan
Yesuit Amerika menyarankan untuk tidak mengukur nilai seorang
calon dari hanya satu isu tunggal--seperti pengguguran atau apa
pun.
Gereja sendiri, seperti nyata dalam ensiklik maupun sinode,
memberi simpati kepada mereka yang sebenarnya beriman, namun
"mendapati dirinya tidak mampu" menyelaraskan hidupnya dengan
ajaran. Karena itu, mereka yang bercerai atau kawin kembali
misalnya, memang dilarang menerima komuni suci y ng sangat
penting artinya bagi seorang.
Katolik. Toh mereka, berkat pembaptisan, "tidak dinilai
terlepas dari Gereja": mereka boleh mengikuti sembahyang,
mendengarkan khutbah, menyertai selebrasi ekaristik "dan
membuktikan kemurahan hati dan keadilan."
New York Times, ketika mengutarakan tuntutan riil di
kalangan umat itu, tak lupa menyebut settingnya: dunia "yang
telah dilanda revolusi seks" -gejolak yang "tak dialami Paus
sendiri di negeri asalnya, Polandia".
Memang, yang sangat santer dari Polandia bukan soal seks.
Berita terakhir dari sini: beribu-ribu orang menyambut dengan
hangat pementasan sebuah drama--yang naskahnya dikarang oleh
bapak mereka Karol Wojtyla, sebelum menjadi Paus Paulus
Johanes II, 14 Desember lalu. Kisah yang dituturkannya memang
klasik saja -- tentang seorang pelukis Polandia yang memutuskan
menjadi pendeta, dan mempersembahkan sisa hidup bagi si miskin
dan mereka yang sendiri. Tapi itu hanyalah salah satu tanda
betapa Gereja berdenyut dalam hidup rakyat dan dalam banyak hal
memenyerukan suara mereka.
Hanya saja, di waktu yang bersamaan para uskup di sana
memperingatkan "kaum pembangkang", yang tidak juga mau berdamai
dengan pemerintah, agar "tidak menjengkelkan negara-negara
sekutu Uni Soviet." Mereka memang tidak menyebut-nyebut serbuan
Rusia. Mereka menyatakan "keprihatinan terhadap masa depan
Polandia."
Dan itu berarti mendung--mendung yang menggantung di
berbagai belahan dunia. Dan hanya di sela-selanya, tersembul
langit Natal -- bersih dan muram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini