Mengapa Kita Mengimpor Beras?

Mengapa kita masih mengimpor beras dari Vietnam? Bukankah Indonesia negara agraris?

Tempo

Minggu, 22 September 2024

SAYA tinggal di sebuah perumahan yang masih dikelilingi sawah yang cukup luas dan berwarna hijau saat musim tanam padi. Bila datang musim panen, semuanya berwarna kuning keemasan. Setiap pagi saya bisa berjalan di sepanjang tepian sawah, berbincang sekadarnya dengan petani padi. Dengan wajah ceria, mereka bercerita tentang sulitnya pengairan sawah di musim kemarau, harga pupuk yang mahal, serta harga padi yang belum memberikan keuntungan memadai dan menyejahterakan petani. 

Namun setiap pembicaraan selalu diakhiri ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena mereka masih diberi rezeki secukupnya. Petani, padi, dan sawah menjadi ciri khas Indonesia sebagai negeri agraris. Negeri agraris? Sebuah tanya yang tak terjawab, mengapa harga beras mahal? Mengapa kita masih mengimpor beras dari Vietnam?

Korea Selatan mempunyai kebijakan sosial pada sektor pertanian dan korporatisme pada agraria yang mencakup reformasi tanah, proteksionisme tingkat tinggi bagi petani, serta dukungan harga untuk pangan dan subsidi produsen. Ini merupakan program pemeliharaan pendapatan bagi penduduk desa Cina dalam pembangunan ekonomi sosial pada rencana lima tahunan. Desa dan pertanian merupakan entitas yang mendapat tempat istimewa dalam pembangunan nasional. Strategi kebijakan sosial dalam mendukung penduduk desa berpendapatan rendah mengeluarkan desa dari jerat kemiskinan dan ketimpangan. Spirit pembangunan Cina membuat desa menjadi tempat tinggal yang indah dan menyenangkan. 

Target penurunan angka kemiskinan yang perlu dicapai adalah 7,5 persen. Pemberian bantuan sosial yang merupakan salah satu strategi penurunan kemiskinan hanya solusi sementara yang tidak mampu mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan permanen. Strategi lain adalah peningkatan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini bisa dimulai dari desa dengan bidang pertanian. Desa dan pertanian harus mengedepankan transformasi sosial ekonomi berskala nasional.

Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah

Sekali Lagi, Lini

SENANG sekali aku membaca rubrik Seni Tempo edisi 16-22 September 2024 mengenai aktifnya Lini Natalini Widhiasi yang berkarya di bidang seni lukis, meskipun kali ini juga menyertakan medium tembaga. Aku pengagum Lini sejak kecil. Dulu, pada akhir 1970-an, aku membaca majalah Hai yang kebetulan menuliskan tentang Lini yang berprestasi dengan melukis. Lama sekali tidak mendengar kabar lagi tentang Lini. Namun, pada September ini, aku bisa “menemukan” Lini di Kompas dan Tempo. Bravo, Lini. Selamat berkarya lagi. 

Muhisom Setiaki
Temanggung, Jawa Tengah

Cermin Maulid Nabi Muhammad

SAAT ini bangsa Indonesia sedang menghadapi pergantian kepemimpinan nasional dan daerah, tentu termasuk kabinet dan jajaran kantor dinas daerah. Sebagai warga negara, terpikir untuk memanfaatkan hari besar Maulid Nabi Muhammad sebagai “peringatan” agar negeri dan bangsa ini menjadi lebih baik. Ini tentu harapan kita bersama.

Kita mengenal sifat kepemimpinan Rasul yang patut diteladankan, yakni sidik (jujur, antikorupsi), amanah (dapat dipercaya, bertanggung jawab), tablig (komunikatif, aktif menyampaikan), dan fatanah (cerdas, kreatif, kompeten).

Di era sekarang, ada pula pola kepemimpinan Nabi yang layak menjadi referensi. Di antaranya toleransi serta kolaborasi dan kebersamaan dalam keberagaman. Hal ini termaktub dalam Piagam Madinah.

Bahkan Rasulullah ditakdirkan menjadi teladan yang terhindar dari kepemimpinan dinasti. Sebab, beliau ditakdirkan lahir sebagai anak yatim. Ayah beliau, Abdullah, wafat saat beliau masih dalam kandungan ibunya, Aminah. Nabi Muhammad juga tidak punya putra lelaki yang dewasa karena tiga putranya wafat saat masih bayi.

Dr Soen’an Hadi Poernomo
Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Berita Lainnya