Dua Wajah dari Kedungombo

Hampir 16 tahun lewat, tapi prahara Kedungombo belum berlalu. Seorang penduduk bercerita, ia belum menerima ganti rugi satu sen pun dari proyek waduk raksasa di Jawa Tengah itu. Padahal kampungnya sudah lama lenyap di dasar air. Waduk Kedungombo—satu dari empat bendungan terbesar di Indonesia—dibangun dengan penuh geger: 37 desa di tujuh kecamatan ditenggelamkan, 5.268 keluarga dipaksa pergi dari rumah mereka nyaris tanpa ganti rugi. Yang melawan diberi cap PKI atau dikirim ke lokasi transmigrasi. Penguasa Orde Baru mengambil alih tanah penduduk di sana demi mendirikan waduk raksasa tersebut. Toh, sebagian warga berhasil melepaskan diri dari prahara dan mendulang rezeki dan kemakmuran dari air bendungan yang pernah mengalirkan berbagai kisah perlawanan itu. Selama beberapa pekan, TEMPO mengamati dari dekat dua wajah—muram dan makmur—Kedungombo "masa kini". Berikut ini laporannya.

Minggu, 18 November 2001

Bukit tandus itu menjelma menjadi pulau yang terkepung air selama beberapa tahun. Tempat terpencil ini lebih sering diramaikan suara ternak dan kicau burung. Namun siang itu bergema suara lain: alunan doa-doa yang syahdu. Orang-orang bersila di tikar membaca tahlil dan salawat. Senin, 5 November lalu adalah hari istimewa bagi warga Desa Kedungpring yang menetap di satu bukit di tengah-tengah Waduk Kedungombo, Jawa Tengah. Mereka memperingati seri...

Berita Lainnya