Orang-Orang Bukit Duabelas

Empat puluh abad lampau, mereka datang dari utara. Berbekal batu dan kayu, mereka menggantungkan hidup dari berkah hutan: umbi, ikan, binatang liar, dan buah-buahan. Tapi musim berganti, dunia berubah wajah. Hutan menjadi deretan sawit. Babi rusa berganti truk dan bus—dan sungai-sungai diperkeras dengan aspal menjadi jalanan. Atas nama peradaban, orang rimba terdesak dari kampung halamannya sendiri. Bukit Duabelas, benteng mereka yang penghabisan, sudah pula dijarah kaum pendatang. Bagaimana orang-orang Kubu menyesuaikan diri? Ikuti laporan wartawan TEMPO Agung Ruliyanto dari kegelapan hutan Jambi.

Minggu, 5 Mei 2002

Matahari sudah lingsir ke barat ketika bus lintas Sumatera itu merapat ke sebuah restoran di Mentawak di wilayah Jambi. Dengan kaus dan celana lusuh, seorang lelaki berambut gembel mencegat penumpang yang mau makan siang. ”Ramuan asli Kubu,” katanya, sambil mengangsurkan obat gosok, tangkur buaya, kulit rusa, juga mani gajah. Mani gajah? Segumpal cairan putih kental tampak meringkuk dalam botol bekas obat batuk. ”Betul, ini untuk pelet,...

Berita Lainnya