Impian yang Hilang di Kota Havana

Ribuan anak muda lahir dari berbagai universitas di Kuba setiap tahun. Dengan ijazah cemerlang di tangan, mereka siap terjun sebagai pengacara, dokter, bankir, atau insinyur. Tapi realitas hidup mencampakkan mereka ke belakang setir mobil, meja resepsionis, ruang cuci para diplomat, bahkan hostes tak resmi di kamar-kamar dansa Kota Havana.

Dengung mesin kapitalisme, dan gemerincing dolar, telah membuat pekerjaan kasar jauh lebih menguntungkan ketimbang pekerjaan otak. Bagaimana negeri Fidel Castro ini—benteng terakhir sosialisme ortodoks—bisa berkelit dari fenomena sectoral brain drain yang akan mengancam masa depannya?

Berikut ini laporan wartawan TEMPO Hermien Y. Kleden, yang mengunjungi Kuba selama dua pekan pada beberapa waktu silam.

Minggu, 26 Mei 2002

Mercedes Benz S600 itu meluncur dari balik barisan pohon palem yang mengitari sebuah mansion berwarna putih di Cubacanan, sebuah kawasan elite di Kota Havana. Seorang lelaki tampan, bertubuh atletis, dengan raut wajah Afro-Latino, duduk di belakang setir. Sembari mengarahkan mobil itu ke jalan besar, ia menoleh ke belakang dan menyapa penumpang di bangku belakang: "Wo gehen wir, Herr Botschafter? (Ke mana tujuan kita, Tuan Duta Besar?)"

Duta

...

Berita Lainnya