Seleksi Calon Pimpinan KPK Inskonstitusional

Proses seleksi pimpinan KPK 2024-2029 ditengarai melanggar putusan MK. Perlu diproses ulang.

Tempo

Minggu, 13 Oktober 2024

PROSES pemilihan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi 2024-2029 oleh pemerintahan Joko Widodo bertentangan dengan ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Jika diteruskan, selain inkonstitusional, proses tersebut bisa membahayakan legalitas semua keputusan yang kelak diambil pimpinan terpilih.

Aturan pemilihan tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PPU-XX/2022, yang menangani gugatan Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK 2019-2024. Putusan itu mengubah sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain mengubah batas usia calon, Mahkamah memperpanjang periode kepemimpinan KPK dari empat menjadi lima tahun.

Menurut MK, perubahan periode kepemimpinan KPK dilakukan agar selaras dengan masa jabatan pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Di situ juga disebutkan secara eksplisit bahwa presiden dan DPR dalam satu periode seharusnya tidak memilih pimpinan lebih dari sekali. Dengan perubahan periode tersebut, tertulis dalam pertimbangan, “seleksi dan rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK periode 2024-2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (2024-2029)”.

Putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Presiden Jokowi bahkan telah menindaklanjutinya dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan saat ini, yang awalnya berakhir Desember 2023 menjadi Desember 2024. Sayangnya, pemerintahan Jokowi tidak mengikuti klausul dalam pertimbangan putusan tersebut ketika menentukan calon pimpinan KPK periode lima tahun ke depan. Penjaringan kandidat telah dimulai pada Mei 2024 dengan menunjuk Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Muhammad Yusuf Ateh sebagai ketua panitia seleksi serta Rektor IPB University Arif Satria sebagai wakilnya. Mereka bersama tujuh anggota lain juga memilih calon anggota Dewan Pengawas KPK.

Panitia seleksi pada 1 Oktober 2024 telah menentukan 10 calon yang akan diajukan ke DPR untuk dipilih separuh dari jumlah itu. Presiden wajib mengajukan calon ke DPR paling lambat 14 hari sejak menerima hasil seleksi. Dengan melihat ketentuan pada pertimbangan Putusan Nomor 112/PPU-XX/2022, DPR semestinya menolak memproses pencalonan tersebut.

Jika diteruskan, risikonya tidak main-main. Kelak para koruptor bisa menggugat legalitas kasus yang menjerat mereka. Seorang tersangka korupsi, misalnya, akan menggunakan lubang hukum dalam proses pemilihan pimpinan KPK sebagai dalil dalam gugatan praperadilan. Bayangkan, kelak dalam lima tahun periode kepemimpinan lima calon terpilih, lembaga antikorupsi itu disibukkan oleh persoalan tersebut. Pemberantasan korupsi pun tak akan bisa berjalan efektif. 

Langkah Jokowi pada akhir masa kepresidenannya jelas membahayakan usaha memerangi korupsi. Ia terkesan hendak memastikan pimpinan KPK 2024-2029 berisi orang-orang yang bisa dikendalikan. Padahal “pengguna” lembaga tersebut bukan lagi Jokowi, melainkan penggantinya, yakni Prabowo Subianto. Pemerintahan barulah, yang akan berjalan efektif mulai 20 Oktober 2024, yang seharusnya memproses pencalonan.

Prabowo perlu mengulang proses pencalonan demi mencegah tidak efektifnya kerja KPK dalam masa pemerintahannya nanti. Masih cukup waktu sebelum kepemimpinan di KPK saat ini berakhir pada 20 Desember nanti. Jika tidak, KPK akan makin kesulitan menangani “kebocoran-kebocoran” anggaran negara, seperti dia gembar-gemborkan sejak masa kampanye lalu. 

Berita Lainnya