Saatnya PDIP Beroposisi Terhadap Pemerintah

Pengkhianatan Jokowi kepada PDIP hendaknya menjadi pelajaran: politik mencari kekuasaan dengan mengikhtiarkan demokrasi. 

Tempo

Minggu, 4 Agustus 2024

JIKA saja ketegangan Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan Presiden Joko Widodo terjadi jauh-jauh hari, laju mundur demokrasi mungkin bisa dicegah. 

Selama 10 tahun berkuasa, Jokowi memutar balik demokrasi yang dirintis sejak masa Reformasi. Institusi-institusi demokrasi dilemahkan lewat cara yang “legal”. Dia menjadikan Dewan Perwakilan Rakyat perpanjangan tangannya dengan mengepit mayoritas partai di parlemen. Lembaga pengontrol eksekutif lain juga dibuat tak bergigi. Setelah undang-undangnya direvisi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Mahkamah Konstitusi berada di bawah penguasa. Dengan lembeknya lembaga-lembaga tersebut, Jokowi menjalankan kekuasaannya hampir tanpa kontrol. 

Perpecahan Megawati dan partainya dengan Jokowi sudah bukan rahasia. Setelah Megawati dan Jokowi berbeda kubu pada Pemilihan Umum 2024, sebagian kader banteng mengecap Jokowi sebagai pengkhianat. Tak sekadar berbeda haluan dalam pemilihan presiden, Jokowi mereka anggap menggembosi kantong suara PDIP dalam pemilihan legislatif lewat pengerahan berbagai sumber daya, dari bantuan sosial hingga aparatur negara.

Setelah pemilihan presiden berlalu, dan calon presiden PDIP Ganjar Pranowo kalah, serangan politikus PDIP terhadap Jokowi makin deras. Bersamaan dengan itu, kasus-kasus hukum yang melibatkan politikus banteng juga mencuat. Beberapa perkara lama kini dihidupkan lagi, termasuk suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, oleh Harun Masiku yang berpeluang menjerat Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Pengusutan itu harus dilakukan. Tapi, ketika hubungan PDIP dengan Jokowi memanas, hal tersebut memberi kesan KPK dipakai pemerintah untuk menekan PDIP. 

Sebelum pecah kongsi, PDIP adalah sekutu terbesar Jokowi. PDIP pula yang menjadi kendaraan Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. Berkat dukungan PDIP yang memiliki kursi terbanyak di DPR, kebijakan Jokowi tak mendapat perlawanan berarti di lembaga legislatif. Sejumlah undang-undang kontroversial yang diinisiasi pemerintah, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara, mulus diloloskan para legislator. 

Karena itu, PDIP sebenarnya turut menanggung dosa yang dibuat Jokowi. Tak hanya mendukung segala kebijakan dan tindakan mantan kadernya itu, tapi juga membiarkan dan turut menikmati keputusan sesat Jokowi. PDIP, misalnya, mendukung pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi lewat revisi UU KPK. Telah jadi rahasia umum, banyak kader PDIP diterungku Komisi karena korupsi. 

Untuk menebusnya, Megawati harus menarik semua menteri yang berasal dari PDIP. Argumentasi PDIP akan kehilangan akses mengontrol kabinet jika tak memiliki kader di pemerintahan—suara yang kerap disampaikan politikus partai sebelum pemilu—tak bisa lagi dipakai. Kekhawatiran posisi menteri yang ditinggalkan PDIP bakal diisi politikus busuk tak relevan dan hanya akan membuat PDIP dicap takut kehilangan kursi kekuasaan. Jangan tanggung bila hendak menjadi oposan. Jika menyerang Jokowi seraya tetap mencari manfaat di akhir pemerintahan, PDIP justru hipokrit.

Setelah Jokowi lengser, PDIP hendaknya mengabaikan sang mantan presiden dalam pertarungan mempertahankan posisi Ketua DPR dan posisi di alat kelengkapan DPR lewat revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Harap diingat, Jokowi adalah person tanpa partai dan tanpa kekuatan setelah 20 Oktober nanti. 

PDIP selayaknya mengoreksi diri: kekuasaan harus berjalan dengan kontrol. Sebagai pemenang pemilu legislatif, di pemerintahan baru kelak, PDIP tak boleh ragu menjadi kekuatan penyeimbang. Dengan cara ini partai akan berkontribusi nyata bagi demokrasi. 

Dengan kekuasaan yang tersebar, Indonesia tak benar-benar jatuh menjadi negara otokrasi seperti Thailand dan Myanmar—demikian pendapat ilmuwan politik Australia, Marcus Mietzner. Beroposisi terhadap Jokowi tapi membebek pemerintahan baru hanya akan membuat PDIP dianggap tak berikhtiar menyelamatkan demokrasi dan hanya melampiaskan dendam kepada seorang kadernya yang berkhianat.

Berita Lainnya