Gelombang PHK Industri Tekstil Akibat Regulasi Buruk

Badai PHK kembali terjadi di industri tekstil. Akibat peraturan yang tak sinkron antarkementerian.

 

Tempo

Minggu, 14 Juli 2024

RONTOKNYA industri tekstil dalam negeri yang menimbulkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan buah dari kekacauan regulasi pemerintah. Tanpa ada perbaikan menyeluruh, kerusakan serupa bisa menimpa sektor-sektor industri lain. 

Gelombang PHK terjadi di sentra industri tekstil dan produk turunannya. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara mencatat terjadi PHK terhadap 50 ribu pekerja. Yang terbaru, menyusul 11 ribu pekerja dari enam perusahaan dirumahkan. Gonta-ganti kebijakan impor tekstil ini yang menjadi salah satu sebab kekisruhan tersebut. 

Peraturan Menteri Perdagangan tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, misalnya, sudah berubah tiga kali. Dari awalnya bernomor 36 tahun 2023, peraturan itu diubah menjadi nomor 3 tahun 2024, nomor 7 tahun 2024, dan terakhir nomor 8 tahun 2024. Setiap perubahan terjadi hanya dalam rentang tiga bulan. Ini menandakan tidak adanya koordinasi yang baik antarkementerian, minimnya penyerapan aspirasi publik, serta kegamangan pemerintah dalam menentukan prioritas. 

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 diubah karena ditentang industri yang kesulitan mendapatkan bahan baku kimia. Permendag Nomor 3 Tahun 2024 kemudian muncul untuk mengakomodasinya, tapi kemudian menuai protes penumpang yang kembali dari luar negeri serta buruh migran. Lau terbit Permendag Nomor 7 Tahun 2024 yang kemudian diprotes lagi oleh importir karena sulitnya mengimpor barang. Kini, setelah menjadi Permendag Nomor 8 Tahun 2024, peraturan itu dikecam industri tekstil dan produk turunannya karena justru memicu banjir pakaian impor di dalam negeri. 

Salah satu pasal yang mematikan dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 meniadakan pertimbangan teknis impor pakaian jadi. Importir umum kini leluasa mendatangkan pakaian jadi dari mancanegara hanya dengan menyertakan rencana impor dalam satu tahun. Tak perlu lagi syarat tentang kapasitas gudang penyimpanan, penjualan, hingga modal. 

Ketidakjelasan aturan ini membuat kegiatan operasional pabrik terus menyusut. Menurut catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia, tingkat utilisasi pabrik tekstil dan pakaian jadi sudah di bawah 60 persen dari kapasitas. Yang terendah adalah pemintalan benang yang tinggal 40 persen. 

Semestinya, dengan kondisi seperti itu, pemerintah sudah menyalakan alarm bahayanya. Ada yang salah dalam industri ini. Jika negara lain seperti Cina mengekspor pakaian dengan menerapkan praktik dumping, semestinya pemerintah segera mengantisipasinya dengan menerapkan bea masuk antidumping hingga bea masuk tindakan pengamanan. Rupanya, aturan bea masuk antidumping untuk kain belum diperpanjang kendati sudah diminta oleh pelaku industri pada 2022. 

Dalam pembuatan kebijakan, sudah pasti pemerintah tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. Namun pemerintah bisa meminimalkannya dengan memilih sektor industri yang mendapat prioritas. Misalnya industri tekstil dan produk tekstil—bersama industri makanan dan minuman—yang menyerap 3,6 juta tenaga kerja formal. 

Pemerintah tidak punya waktu lagi untuk menunda perbaikan regulasi impor yang kadung kacau balau itu. Tanpa langkah cepat, sama saja pemerintah menciptakan bom waktu yang bisa memorak-porandakan perekonomian nasional.

Berita Lainnya