Risiko di Balik Penerbitan Obligasi Daerah

Penerbitan obligasi daerah dibayangi risiko besar. Ancaman datang dari rendahnya kemampuan fiskal dan tata kelola yang buruk. 

 

Tempo

Minggu, 14 April 2024

KEMENTERIAN Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan harus benar-benar awas dalam penerbitan aturan tentang obligasi daerah. Nafsu besar pemerintah daerah menerbitkan surat utang bisa menjadi malapetaka jangka panjang jika tak diimbangi dengan kemampuan fiskal dan tata kelola yang prima.

Penyusunan aturan teknis mengenai penerbitan obligasi daerah adalah amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Jika tak ada aral, pada akhir semester pertama tahun ini Kementerian Keuangan dan OJK akan merilis ketentuan penerbitan obligasi daerah. Aturan ini ditunggu-tunggu oleh banyak kepala daerah yang punya banyak proyek tapi tak punya cukup anggaran. Kini ada sejumlah gubernur yang antre mendapatkan izin untuk menjual obligasi di pasar keuangan.

Obligasi daerah, di satu sisi, memang menjadi alternatif pendanaan yang menarik di tengah keterbatasan fiskal daerah. Banyak proyek infrastruktur penting di daerah yang terjegal lantaran kekurangan dana. Sayangnya, proyek yang dibutuhkan publik seperti rumah sakit daerah, irigasi, dan jalan daerah cenderung tak diminati investor lantaran tak menjanjikan keuntungan. Penerbitan portofolio investasi seperti surat utang menjadi salah satu jalan mengalirkan dana dari pasar keuangan untuk proyek-proyek publik.

Persoalannya, tidak semua pemerintah daerah bisa dan layak menerbitkan obligasi. Salah satu masalah krusial adalah soal tata kelola dan sumber daya manusia yang punya kapasitas mengelola utang triliunan rupiah. Merujuk pada publikasi Badan Pemeriksa Keuangan pada Desember 2023, ada sejumlah masalah dalam laporan keuangan pemerintah daerah 2022 yang mempengaruhi opini auditor keuangan negara. 

Risiko besar lain adalah gagal bayar karena daerah membuat program atau proyek mercusuar yang boros anggaran tapi minim manfaat. Di luar negeri sudah banyak contoh persoalan besar yang berawal dari penerbitan obligasi daerah. 

Di Amerika Serikat, pada 1994, terjadi kasus gagal bayar municipal bond yang diterbitkan pemerintah Orange County, California, senilai US$ 1,5 miliar. Kasus lain adalah gagal bayar surat utang pemerintah Detroit senilai US$ 8,4 miliar pada 2013, yang menjadi kasus wanprestasi terbesar sepanjang sejarah. 

Di tengah kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian, penerbitan surat utang bukan hal yang bijak. Tingginya risiko bakal mengerek imbal hasil yang harus dibayarkan daerah kepada para pemegang surat utang. Sebagai gambaran, imbal hasil dalam lelang Surat Perbendaharaan Negara pada 13 Maret 2024 sudah mencapai 6,458 persen. Imbal hasil obligasi daerah kemungkinan besar akan lebih tinggi lantaran investor melihat profil risiko yang lebih tinggi.

Di pihak lain, total utang pemerintah dalam bentuk obligasi terus membengkak. Data Asia Bond Online menyebutkan total nilai outstanding obligasi di Indonesia tumbuh 19 persen dari Rp 5.314,54 triliun pada Desember 2021 menjadi Rp 6.331 triliun pada Desember 2023. Ini mencakup obligasi korporasi serta surat utang negara dan bank sentral.

Karena itu, regulasi penerbitan obligasi daerah harus dibuat seketat mungkin. Jangan beri ruang kepada daerah dengan kemampuan fiskal rendah untuk menerbitkan surat utang karena pada akhirnya semua beban akan ditanggung negara.

Berita Lainnya