Bisakah Mahkamah Konstitusi Membuat Putusan Progresif Sengketa Pilpres

Kubu Anies dan Ganjar menuntut Mahkamah Konstitusi menganulir kemenangan Prabowo-Gibran. Kesempatan memulihkan nama. 

Tempo

Minggu, 31 Maret 2024

PENYELESAIAN sengketa hasil pemilihan presiden 2024 bisa menjadi kesempatan emas bagi Mahkamah Konstitusi mengembalikan muruah lembaga ini. Majelis hakim konstitusi, minus Anwar Usman, ipar Presiden Joko Widodo, seharusnya berani mengeluarkan putusan progresif.

Kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. menggugat hasil pemilihan presiden setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan rekapitulasi suara yang memenangkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Prabowo-Gibran meraup 58,59 persen suara, di atas Anies 24,95 persen dan Ganjar 16,47 persen.

Pilihan menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi tepat karena dua kubu yang kalah menduga terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif oleh kubu Prabowo-Gibran. Gugatan ini penting karena upaya lain menggulirkan hak angket kecurangan pemilu di Dewan Perwakilan Rakyat berpotensi membentur tembok. Partai koalisi pendukung Prabowo-Gibran gencar membujuk lawan mereka menyetop rencana penggunaan hak bertanya DPR itu. 

Menyoal pelbagai kecurangan dalam pemilihan presiden, Anies dan Ganjar dalam petitumnya meminta hakim konstitusi membatalkan kemenangan Prabowo-Gibran, mendiskualifikasinya, dan menggelar pemungutan suara ulang. Dalih mereka adalah praktik kecurangan terjadi jauh sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari 2024 lewat orkestrasi yang rapi.

Kecurangan dimulai dari operasi kotor meloloskan Gibran melalui revisi Undang-Undang Pemilu di Mahkamah Konstitusi. Saat itu anak sulung Jokowi ini berusia 35 tahun—jauh di bawah syarat usia 40 tahun menjadi calon wakil presiden. Berkat Anwar Usman—saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi—syarat tersebut direvisi sehingga Gibran cukup syarat menjadi kandidat wakil presiden. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi menyebutkan putusan itu melanggar etika dan mencopot Anwar dari kursi Ketua Mahkamah.

Setelah itu, penyimpangan demi penyimpangan terjadi beruntun. Dari pengerahan aparat dan lembaga negara, intimidasi terhadap perangkat dan kepala desa, sampai puncaknya pengguyuran bantuan sosial secara besar-besaran untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Sebagian besar anggaran perlindungan sosial Rp 496,7 triliun diduga dipakai untuk bansos menjelang pemilihan presiden. 

Pelbagai pelanggaran tersebut bisa dipakai Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan tuduhan kecurangan pemilu. Melempar sengketa pemilihan presiden ke Badan Pengawas Pemilu, termasuk memutus perkara dalam 14 hari sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tidak boleh menjadi alasan hakim konstitusi tidak mengoptimalkan pemeriksaan perkara penting ini.

Sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, Mahkamah Konstitusi punya kewenangan penuh menghadirkan saksi-saksi penting guna membuktikan gugatan itu benar atau salah. Salah satunya adalah seorang kepala kepolisian daerah soal adanya instruksi memenangkan kandidat tertentu, seperti yang pernah diungkapkan kubu Ganjar. Menunggu saksi kunci tersebut datang secara sukarela jelas tidak mungkin, mengingat kemungkinan ancaman penjatuhan sanksi dari institusi kepolisian.

Setelah memeriksa perkara dengan saksama, hakim konstitusi tak perlu kecut mengambil keputusan. Jika indikasi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif bisa dibuktikan, para hakim bisa menggunakan hak dan kewenangannya membatalkan keputusan KPU lalu meminta pemilihan ulang. Putusan ini tidak asing karena Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan hal serupa dalam sejumlah sengketa hasil pemilihan kepala daerah. 

Kemungkinan lain, jika hakim konstitusi menemukan pangkal masalah dalam proses ilegal pencalonan Gibran dan pelbagai kecurangan oleh Jokowi untuk memenangkan anaknya, hakim juga punya peluang meminta pemilihan ulang setelah koalisi Prabowo mengganti calon wakil presiden. 

Kesempatan memperbaiki nama Mahkamah Konstitusi—setelah dibenamkan Anwar Usman—kini berada di tangan Ketua Suhartoyo dan tujuh hakim konstitusi lain. Tanpa keteguhan dan keberanian, muruah Mahkamah Konstitusi tidak akan pernah kembali.

Berita Lainnya