Mengapa Pungli di Rutan KPK Kian Marak

Praktik pungutan liar merajalela di rumah tahanan KPK. Bukti buruknya pengawasan setelah revisi undang-undang.

Tempo

Minggu, 21 Januari 2024

MARAKNYA pungutan liar (pungli) di balik tembok rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi tak mungkin ditutupi lagi. Baunya telanjur menyeruak seperti amis di pasar ikan. Karena “ikan membusuk mulai dari kepala”, bersih-bersih di lingkungan KPK pun tak cukup dilakukan di lapisan pegawai rendahan. 

Dewan Pengawas KPK baru-baru ini menyidang 15 dari 93 pegawai KPK yang diduga terlibat praktik pungli sepanjang Desember 2021-Maret 2022. Praktik pemerasan itu terkuak setelah Dewan Pengawas menerima keluhan dari para tahanan dan keluarga yang menjadi korban. 

Rumah tahanan (rutan) KPK kini bak kebun beracun yang penuh ular berbisa. Agar selamat dari patukan berbahaya para penjaga, tahanan dan keluarga mereka harus merogoh kocek dalam-dalam. Demi mendapatkan hak-hak sederhana, seperti jam kunjungan dan fasilitas dasar di dalam penjara, mereka harus membayar Rp 1-500 juta. Menurut Dewan Pengawas, total uang yang diisap dari praktik pungli ini mencapai Rp 6,1 miliar.

Bukan hanya penjaga tahanan yang dilaporkan terlibat pemerasan. Kepala penjara KPK pun diduga turut serta dalam pesta uang hasil praktik pungutan liar. Tak ada kata risi atau malu lagi. Kepala rumah tahanan malah berlagak layaknya direktur yang membagi-bagikan saham haram perusahaan kepada anak buahnya. 

Terbongkarnya kasus pungutan liar ini mengkonfirmasi kabar kian terpuruknya integritas para pegawai berseragam “pejuang antikorupsi” itu. Pada masa kepemimpinan Firli Bahuri, yang baru-baru ini juga menjadi tersangka kasus korupsi, nilai-nilai moral di lingkungan KPK tampaknya lebih rapuh daripada jerami di tengah badai. Pemberantasan korupsi seolah-olah hanya berlaku di luar pagar institusi mereka sendiri—itu pun dengan jurus tebang pilih.

Terpuruknya integritas pegawai KPK bukan semata kesalahan individual. Itu buah revisi Undang-Undang KPK yang kontroversial pada 2019. Klaim pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat memperkuat pengawasan internal dengan membuat Dewan Pengawas KPK tak lebih dari isapan jempol. Setelah KPK memiliki Dewan Pengawas, pelanggaran disiplin dan etika di lingkup internal lembaga antikorupsi itu justru kian menjadi-jadi. 

Perkembangan seperti itu sejatinya tidak mengejutkan. Berbekal senjata Undang-Undang KPK hasil revisi, Firli Bahuri telah menyingkirkan lebih dari 50 pegawai KPK yang dikenal berintegritas dan memegang teguh etika. Mereka dibuang dengan dalih tidak lulus tes wawasan kebangsaan ketika semua pegawai KPK dipaksa beralih status menjadi aparatur sipil negara biasa. 

Sejak penyingkiran besar-besaran pegawai berintegritas itu, bau busuk dari lingkungan KPK makin sering menguar. Rumah tahanan KPK kini tak lebih dari cabang penjara pada umumnya: berlepotan dengan praktik pungli bahkan korupsi.

Tak mudah memulihkan kehormatan lembaga yang terkoyak parah. Bila eksistensinya masih mau dipandang berfaedah, Dewan Pengawas harus mengambil langkah tegas. Persidangan etika yang terbuka adalah kuncinya. Semua yang terlibat dari bawah sampai puncak piramida pungli harus dihukum setimpal dengan kesalahannya. Bila tidak, penjara KPK akan terus menjadi sarang “ular berbisa”.

Berita Lainnya