Ancaman Maut Kabel Semrawut
Kasus kecelakaan akibat kabel semrawut yang menimpa Sultan Rifat Alfatih terancam dipetieskan. Ancaman bagi pengguna jalan.
Tempo
Minggu, 7 Januari 2024
JIKA dihitung rata-rata, setiap bulan dalam setahun terakhir, seorang pengendara celaka akibat semrawutnya jaringan kabel di jalan raya. Setidaknya dua nyawa terenggut dalam rentetan peristiwa di Jakarta, Bandung, Sleman, Pekanbaru, Bandar Lampung, dan Makassar tersebut. Tragedi ini jelas terjadi bukan karena korban sedang nahas, melainkan akibat kelalaian operator pemilik jaringan kabel yang terus dibiarkan pemerintah.
Karena itu, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya harus mengusut tuntas kasus dugaan kelalaian PT Bali Towerindo Sentra Tbk dalam kecelakaan yang menimpa Sultan Rifat Alfatih setahun lalu. Tidak hanya untuk memberikan keadilan kepada Sultan, penindakan hukum diperlukan sebagai peringatan terhadap operator jaringan kabel lain agar tidak lagi serampangan mengelola infrastruktur mereka yang memakai ruang publik. Menganggap kasus Sultan sebagai musibah belaka sama saja dengan membiarkan korban kembali berjatuhan di masa mendatang.
Menjadi ganjil kalau laporan polisi keluarga Sultan pada awal Agustus 2023 malah berhenti di tengah jalan. Pekan lalu, 28 Desember 2023, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto menyatakan timnya belum menemukan unsur pidana. Dia juga sudah menyebutkan Bali Towerindo tak bersalah dalam kecelakaan yang menimpa Sultan.
Sikap Karyoto, yang terkesan pasang badan atas dugaan kelalaian pemilik jaringan kabel itu, patut dicurigai. Apalagi, sehari setelah pernyataan Karyoto, keluarga Sultan justru mendapat informasi dari tim penyelidik bahwa pemeriksaan atas laporan mereka masih berlangsung. Selain itu, pembuktian dugaan kelalaian pemilik kabel seharusnya bukan perkara rumit.
Kamis malam itu, 5 Januari 2023, kabel serat optik Bali Towerindo yang melintang di Jalan Antasari, Jakarta Selatan, menjuntai ke jalanan. Sempat tersangkut mobil, kabel lapis baja itu melenting ke belakang lalu menjepret leher Sultan yang mengendarai sepeda motor. Nyawa pemuda 20 tahun ini selamat. Namun, hingga kini, ia harus menggunakan alat bantu untuk makan dan tak bisa lagi berbicara.
Penyelidik semestinya menindaklanjuti keterangan masyarakat di sekitar lokasi kejadian yang menyampaikan kepada keluarga korban bahwa kabel Bali Towerindo itu sudah menjuntai beberapa hari sebelum petaka terjadi. Pengecekan petugas perseroan terhadap kondisi kabel yang sama, yang diklaim masih dalam ketinggian normal, pun terakhir kali dilakukan pada 26 Desember 2022, lebih dari sepekan sebelum Sultan celaka.
Apa pun penyebab terjuntainya kabel itu, Bali Towerindo seharusnya bertanggung jawab atas jaringan infrastruktur mereka yang telah mencelakai anggota masyarakat. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan jelas dengan tegas melarang kegiatan yang mengganggu fungsi jalan, termasuk yang bisa menyebabkan kecelakaan. Peraturan tersebut juga menyertakan ancaman pidana bagi pelanggarnya.
Petaka yang menimpa belasan korban setahun terakhir semestinya tak terjadi andai pemerintah serius menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengawas dalam pemanfaatan jalan. Sudah lama pemerintah, baik pusat maupun daerah, berikrar mengembangkan sarana jaringan utilitas terpadu untuk memindahkan kabel yang malang-melintang di atas dan tepi jalan perkotaan. Namun kepentingan pendapatan daerah dan efisiensi biaya pebisnis agaknya masih dianggap lebih utama ketimbang nyawa manusia.