Untuk Apa BNN Mengusulkan Kratom Sebagai Narkotik Jenis Baru

Rencana memasukkan kratom ke daftar narkotik jenis baru rawan membuka ruang pemerasan. Perlu kajian ilmiah mendalam.    

Tempo

Minggu, 7 Januari 2024

BADAN Narkotika Nasional (BNN) tidak boleh serampangan memasukkan tanaman kratom ke daftar narkotik dan obat berbahaya. Perlu kajian mendalam atas manfaat serta mudarat tanaman yang telah berbilang abad dimanfaatkan masyarakat untuk pengobatan tradisional itu. 

Pada Desember 2023, BNN menyebutkan ada 93 narkotik jenis baru—biasa disebut new psychoactive substance atau NPS—dari sejumlah negara yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 90 jenis di antaranya telah teridentifikasi dan diatur penggunaannya dalam peraturan Menteri Kesehatan.

Di tengah serbuan jenis narkotik baru dari luar negeri itu, BNN membelokkan logika dengan mengusulkan kratom menjadi target pelarangan. Tak tanggung-tanggung, BNN hendak memasukkan kratom ke daftar narkotik golongan I yang masuk kategori sangat berbahaya dan terlarang tanpa pengecualian, termasuk untuk pengobatan. Dalih BNN, banyak orang menyalahgunakan daun tanaman rubiaceae atau jenis kopi-kopian itu.

Kratom atau Mitragyna speciosa tumbuh tersebar di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Selama ini sebagian masyarakat di Tanah Air memanfaatkan kratom untuk meredakan sakit perut dan pegal linu serta menghilangkan rasa lelah. Masyarakat di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, misalnya, malah telah memanfaatkan daun kratom sebagai bahan sajian minuman semacam teh.

Pamor kratom belakangan naik daun sebagai komoditas bahan obat herbal. Angka permintaan ekspornya terus meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor kratom mencapai 8.206 ton pada 2022 dengan nilai US$ 15,51 juta. Angka ini naik 87 persen dibanding ekspor kratom pada tahun sebelumnya.

Di tengah kenaikan pemanfaatan kratom di dalam dan di luar negeri, rencana melarang kratom malah mencurigakan. Wajar bila ada yang bertanya-tanya: apa sesungguhnya motif di balik pelarangan tersebut? Apakah semata-mata demi mencegah penyalahgunaan dan efek buruk kecanduan kratom bagi kesehatan? Adakah motif lain di balik rencana pelarangan tersebut?

Kecurigaan semacam itu tak berlebihan. Dalam penanganan kasus narkotik, pendekatan legalistik semata terbukti tak menyelesaikan masalah. Penjara disesaki penyalah guna narkotik yang seharusnya direhabilitasi. Adapun jaringan bandar tak hanya berkeliaran di luar, tapi bisa menyelinap ke penjara yang penuh pencandu.

Pendekatan legalistik yang mengutamakan hukuman juga kerap membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat. Penegak hukum kerap memberi hak rehabilitasi kepada pencandu yang mampu dan mau menyuap. Adapun penyalah guna narkotik yang tak punya uang banyak dipastikan masuk penjara.

Bila niatnya benar mencegah efek buruk kecanduan, pemerintah seharusnya mengutamakan sains untuk memaksimalkan manfaat kratom dan meminimalkan efek sampingnya untuk kepentingan pengobatan. Untuk itu, Kementerian Kesehatan-lah yang seharusnya mendorong riset mendalam dan menjadi penentu utama kebijakan. Adapun lembaga lain, seperti BNN, Kepolisian RI, dan Kementerian Perdagangan, seharusnya tunduk pada otoritas medis.

Bila hasil riset kelak membuktikan manfaat kratom lebih besar daripada mudaratnya, tak ada alasan untuk melarangnya. Jangan sampai pelarangan kratom justru membuka ladang baru bagi aparat korup untuk memeras atas nama hukum.

Berita Lainnya