Hasrat Jokowi Memperpanjang Kontrak Freeport

Presiden Jokowi berniat menambah masa kontrak Freeport yang baru akan berakhir pada 2041. Langkah yang tak pantas di akhir masa jabatan.

 

Tempo

Minggu, 26 November 2023

TATA kelola pemerintahan yang baik menuntut adanya kepatuhan hukum dan etika. Syarat pertama, menjamin aturan main bernegara ditegakkan secara imparsial. Kedua, memastikan pejabat publik membuat kebijakan yang mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan individu atau kelompoknya. Hasrat Presiden Joko Widodo segera memperpanjang masa izin PT Freeport Indonesia menabrak dua prinsip tersebut.

Jokowi menyampaikan ambisi itu saat bertemu dengan Chairman Freeport-McMoRan Richard Adkerson di Washington, DC, Amerika Serikat, pada Senin, 13 November lalu. Presiden menginginkan pembahasan rencana penambahan kepemilikan saham Indonesia sebesar 10 persen dan perpanjangan izin Freeport selama 20 tahun segera dirampungkan bulan ini. Jika itu terealisasi, Freeport bisa melanjutkan operasi produksi emas dan tembaganya di tambang Grasberg, Papua Tengah, sampai 2061.

Jokowi harus meredam hasratnya, apa pun motif di belakang rencana tersebut. Menambah porsi saham dan memperpanjang izin Freeport merupakan dua langkah besar yang tak semestinya diputuskan secara gegabah. Perpanjangan izin di akhir masa jabatan presiden ini juga akan menerabas regulasi dan menyalahi etika publik.

Freeport mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada 2021 yang berlaku dalam dua tahap, masing-masing selama 10 tahun sampai 2041. Lisensi baru ini merupakan kelanjutan kontrak karya yang dikantongi perusahaan sejak lebih dari setengah abad silam. Freeport juga telah memenuhi persyaratan peralihan izin tersebut berupa divestasi saham pada 2018 sehingga porsi kepemilikan RI atas perseroan bertambah menjadi 51,24 persen melalui PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum.  

Sesuai dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang IUPK kelanjutan kontrak karya memang bisa mendapat perpanjangan izin. Namun Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Minerba, menegaskan bahwa permohonan perpanjangan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak karya diajukan paling cepat lima tahun sebelum berakhirnya izin. Artinya, rencana penambahan jangka waktu operasi kepada Freeport semestinya baru bisa dibahas pada 2025, lima tahun sebelum berakhirnya IUPK tahap pertama.

Pemerintah mungkin saja merombak regulasi itu demi mengegolkan negosiasi dengan Freeport. Namun langkah itu jelas makin menunjukkan betapa rendahnya etika pejabat publik di republik ini. Seorang presiden yang akan lengser menabrak aturan demi bisa membuat keputusan yang kudu ditanggung untung-ruginya oleh pemerintahan serta rakyat Indonesia selama empat dekade ke depan. Tindakan semacam ini tidak masuk akal, dan bisa memantik kecurigaan karena menyangkut transaksi bisnis yang besar.

Presiden sebaiknya menyerahkan urusan ini kepada pemimpin baru yang akan menggantikannya. Keputusan memperpanjang izin dan menambah porsi kepemilikan di Freeport harus disertai kalkulasi jangka panjang secara komprehensif, akuntabel, dan transparan. Prinsip-prinsip itulah yang absen dalam negosiasi terbaru antara pemerintah dan Freeport sekarang. Maka tak berlebihan jika kini hasrat Jokowi dinilai lebih tampak sebagai pencitraan belaka.

Berita Lainnya