Mengapa Proyek Rempang Eco-City Sebaiknya Dihentikan

Pembangunan Rempang Eco-City di Pulau Rempang harus dihentikan. Pemerintah tak boleh memaksa penduduk meninggalkan kampung.

Tempo

Minggu, 24 September 2023

PRESIDEN Joko Widodo tidak bisa lepas tangan be­gi­­tu saja dari kerusuhan yang pecah di Pulau Rem­pang, Kota Batam, Kepulauan Riau, pada awal bu­lan ini. Kerusuhan pada 7 September lalu itu me­letup karena warga Rempang menolak rencana peng­gu­sur­an sewenang-wenang oleh pemerintah, yang ingin segera membangun Rempang Eco-City.

Investigasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, ga­bungan delapan organisasi sipil yang dikoordinasikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, mengungkap setidaknya 20 warga sipil cedera akibat bentrokan antara aparat dan penduduk yang menolak direlokasi paksa dari kampung mereka. Bukan hanya itu, 10 siswa sekolah menengah pertama dan guru mereka dilarikan ke rumah sakit karena terkena tembakan gas air mata polisi. 

Penyelidikan awal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menemukan penggunaan kekuatan aparat keamanan yang ber­lebihan dalam penanganan konflik di pulau tersebut. Karena itu, pernyataan Jokowi, “Masak, urusan gitu sampe Presiden”, ada­lah sikap meremehkan seorang pemimpin terhadap konflik yang memakan korban. 

Setelah terjadi kerusuhan, pemerintah pusat tak boleh bu­ang badan dari urusan Rempang. Sebab, Rempang Eco-City merupakan salah satu proyek strategis nasional. Kon­flik ber­darah itu tidak akan terjadi bila pemerintah tidak memaksakan proyek Rempang Eco-City yang akan digarap PT Makmur Elok Graha, bagian dari Artha Graha Network milik pengusaha Tomy Winata. Apalagi proyek tersebut berlumur masalah sejak awal. 

Penyelidikan Ombudsman RI menemukan indikasi maladministrasi olehm Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dan Pemerintah Kota Batam. BP Batam mengalokasikan 16.500 hektare lahan di pulau itu untuk Rempang Eco-City, berupa kawasan industri, perdagangan, hingga wisata. Pengalokasian lahan itu melanggar aturan karena Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional belum menge­lu­arkan sertifikat hak pengelolaan lahan kepada BP Batam.

Sertifikat hak pengelolaan lahan bisa terbit bila lahan berstatus clear and clean alias tidak ada sengketa seputar penguasaan lahan dan bangunan di atasnya. Faktanya, jauh sebelum ada rencana proyek Rempang Eco-City, di pulau tersebut sudah ada belasan kampung tua berumur ratusan tahun yang ditempati masyarakat secara turun-temurun.


Baca liputannya:


Kalaupun sampai saat ini penduduk Rempang belum mengan­tongi bukti kepemilikan lahan, itu bukan karena kesalahan me­reka. Pemerintah lalai memberikan akses kepada warga Rempang untuk memperoleh hak mereka. Apalagi pemerintah sudah puluhan tahun memungut pajak bumi dan bangunan yang dikuasai warga. Penduduk Rempang pun telah bolak-balik berusaha mengurus sertifikat kepemilikan lahan mereka, tapi selalu ditolak badan pertanahan. 

Melihat begitu kerasnya penolakan warga Pulau Rempang, serta le­ga­­litas lahan yang ber­masalah, pemerintah seharusnya tidak memak­sa­kan pengo­songan permukiman penduduk pada 28 September nanti. Hentikan pula segala bentuk intimidasi oleh apa­rat keamanan yang berkeliaran di Rempang. Sebe­lum ada persetujuan secara sukarela dari masyarakat, proyek Rempang Eco-City harus ditangguhkan. Bila tidak, bara bisa kembali menjadi kobaran api konflik yang me­makan korban lebih banyak.

Berita Lainnya