Perlunya Hutan Adat Masuk Tata Ruang Wilayah

Sulawesi Tengah memasukkan enam hutan adat sebagai kawasan strategis ke Rencana Tata Ruang Wilayah. Pertama di Indonesia.

Tempo

Minggu, 23 Juli 2023

MASYARAKAT adat To Kulawi Uma Masewo di Kecamatan Pipikoro, Sigi, Sulawesi Tengah, yang arif mengelola hutan, bak mendapat kado manis di tengah tahun. Dalam rapat paripurna, Selasa, 13 Juni lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Provinsi menyetujui penetapan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Tahun 2023-2042. Aturan itu memasukkan enam hutan adat sebagai kawasan strategis provinsi. Konsekuensinya, hutan adat tersebut seharusnya dijaga dan diprioritaskan dalam penataan ruang.

Keberanian Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah itu layak diapresiasi. Langkah ini juga bisa direplikasi daerah lain. Sulawesi Tengah menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memposisikan hutan adat secara strategis dalam kebijakan penataan ruang. Itu berkat kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang berhasil. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Kesatuan Advokasi Rakyat Hukum Adat membedah rancangan perda dan menyerahkan kertas kebijakan tentang urgensi pencantuman hutan adat dalam RTRW.

Terbitnya kebijakan ini pun tak lepas dari kearifan lokal yang dipraktikkan masyarakat adat Masewo sedari dulu. Hutan adat Huakaa Topo Ada To Masewo seluas 829 hektare, yang ditetapkan pemerintah pada 20 Desember 2019, menjadi sumber kehidupan. Mereka membaginya ke dalam zona-zona. Area di sekitar permukiman, seperti oma tua (hutan sekunder) dan ponulu (hutan primer), dikelola secara intensif sebagai kebun campuran, sawah-ladang. Area wana (zona inti) dan wanangkiki (hutan pegunungan) yang jauh dari kampung sesekali dikunjungi untuk panen rotan atau berburu satwa.

Adapun ko’olo adalah kawasan hutan yang dilindungi secara adat. Segala aktivitas di area ini diawasi oleh lembaga adat dengan aturan dan sanksi yang sangat berat, sehingga masyarakat akan berpikir ulang bila mau melanggar. Area ko’olo sangat dilindungi karena merupakan sumber air dan tanaman endemis yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Area itu juga merupakan lokasi pengambilan bahan khusus untuk upacara ritual tahunan.


Baca liputannya:


Perda RTRW yang masih dievaluasi Kementerian Dalam Negeri ini semoga segera bisa diterapkan secara efektif. Untuk itu, pemerintah daerah memang masih perlu menyiapkan aturan turunan. Tapi pencantuman hutan adat dalam RTRW ini setidaknya kabar baik di tengah lambannya pemerintah mengakui hak ulayat masyarakat adat. Sejak dimulai pengakuan hutan adat pada 2016 hingga Maret 2023, baru ada 108 surat keputusan hutan adat dengan luas mencapai 153.322 hektare. Padahal Badan Registrasi Wilayah Adat menyebutkan potensi hutan adat mencapai 17,5 juta hektare.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hendaknya bekerja lebih konkret dengan mendaftar tanah ulayat. Pasalnya, ada 198 peta wilayah adat atau seluas 3,2 juta hektare yang sudah mendapat penetapan atau pengakuan oleh pemerintah daerah. Kementerian Agraria perlu melanjutkan proses itu dengan mengukur, memetakan, dan mencatatnya dalam daftar tanah. Itu artinya Kementerian juga harus mengalokasikan anggaran untuk pendaftaran tanah ulayat.

Berita Lainnya