Piala Dunia untuk Siapa

Di tangan politisi mabuk politik elektoral, sepak bola Indonesia sulit berkembang. Pembatalan Piala Dunia U-20 cuma satu contoh.

Tempo

Minggu, 2 April 2023

SATU hal yang terang benderang dalam adu pendapat Presiden Joko Widodo dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyangkut penyelenggaraan Piala Dunia U-20 adalah keduanya tidak bertolak dari kepentingan orang banyak. Sama-sama berkoar demi masyarakat, mereka sesungguhnya hanya melayani kepentingan sendiri.

Jokowi menginginkan Indonesia menjadi tuan rumah. Ini ambisi megalomania seperti ketika dia mendorong penyelenggaraan MotoGP di Mandalika dan pembangunan daerah wisata premium di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Kedua proyek itu menggusur warga lokal dari tanah leluhurnya, bahkan merampasnya tanpa ganti rugi. Contoh lain: pembangunan ibu kota baru di Sepaku, Kalimantan Timur, tanpa mempedulikan kondisi keuangan negara yang morat-marit.

Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri, di lain pihak, menolak Piala Dunia U-20. Mereka memprotes keikutsertaan Israel dan mengaku berempati pada perjuangan kemerdekaan Palestina. Padahal Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, tenang-tenang saja. Dia menyatakan negaranya sama sekali tidak keberatan kesebelasan Israel berlaga di Indonesia.

Yang menggelikan dari sikap PDIP itu adalah tepat setahun lalu Puan Maharani, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, politikus partai yang juga putri Megawati, justru menjamu empat anggota parlemen Israel dalam Sidang Inter-Parliamentary Union di Bali. Kita tidak tahu ada apa di balik perseteruan Jokowi dengan PDIP. Yang pasti, hasil akhirnya masyarakat kehilangan kesempatan berharga menyaksikan laga Piala Dunia di halaman rumah sendiri. 

Tingkah polah pemangku kekuasaan yang diperagakan oleh PDIP dan Jokowi bukanlah hal baru. Lini masa politik elite di negara ini diwarnai politik dagang sapi. Tak peduli apakah mereka bertentangan atau berangkulan, kepentingan orang banyak dan norma-norma demokrasi selalu diabaikan.  

Kompromi Presiden Jokowi dengan partai politik, misalnya, menghasilkan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Koalisi penguasa juga merampungkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdalih untuk menyingkirkan “bau" kolonial dari kitab hukum warisan Belanda, yang muncul pembatasan-pembatasan yang mempersempit kebebasan masyarakat sipil. UU Cipta Kerja yang antara lain meminggirkan hak-hak buruh masih ditentang sampai sekarang.

Keputusan Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah memupus harapan para pesepak bola muda untuk tampil di arena dunia. Triliunan rupiah yang telah dibelanjakan untuk persiapan acara akbar tersebut terbuang percuma. Meski demikian, sikap FIFA membatalkan penyelenggaraan acara di Indonesia dapat diterima. Memaksakan kegiatan di tengah penolakan PDIP dan partai politik lain serta organisasi kemasyarakatan berbasis Islam berpotensi memperluas sentimen keagamaan dan anti-Israel.

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan pemerintah Jokowi sejatinya tidak memiliki kredibilitas untuk menyelenggarakan event akbar tersebut. Kita belum lupa: tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang merenggut nyawa 135 orang. Pengadilan memvonis terdakwa dengan hukuman ringan bahkan bebas sama sekali. Pemerintah tak memprioritaskan keadilan bagi keluarga korban dan pembenahan sepak bola.


Baca liputannya:

Setelah keluarnya keputusan FIFA, Jokowi dan Ketua Umum PSSI Erick Thohir meminta masyarakat legawa dan mengaku mendapat pelajaran berharga lewat kejadian ini. PDIP menyatakan sedih dan menyalahkan FIFA. Tak lebih dari basa-basi, kedua pendapat dapat dibaca sebagai sikap cuci tangan dan strategi keluar agar tak berlarut-larut dihujat orang banyak. 

Kisruh penyelenggaraan Piala Dunia U-20 pada akhirnya membuktikan bahwa urusan publik seperti sepak bola tak lepas dari kepentingan kekuasaan dan urusan sempit politik elektoral segelintir elite. 

Berita Lainnya