Tak Tegas Melawan Kelompok Intoleran

Gesekan antar-umat berbeda agama dan keyakinan di Yogyakarta terus berulang. Buah ketidaktegasan pemerintah.

Tempo

Minggu, 2 April 2023

PENUTUPAN patung Bunda Maria di Kulon Progo seharusnya menjadi alarm terakhir bagi Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. Gesekan antar-kelompok berbeda agama dan keyakinan makin sering terjadi di wilayah yang penduduknya pernah dikenal toleran atas pelbagai perbedaan itu.

Gesekan terbaru muncul di Dusun Degolan, Bumirejo, Kulon Progo, pada 22 Maret lalu. Sekelompok anggota organisasi kemasyarakatan untuk kesekian kalinya mendatangi rumah doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus. Mereka meminta pengurus rumah doa membongkar patung Bunda Maria yang tercogok di pekarangan. Massa menganggap patung itu terlalu mencolok karena berhadapan dengan Masjid Al-Barokah, yang hanya berjarak beberapa meter dari kompleks rumah doa.

Warga dusun setempat sebetulnya telah mengizinkan pendirian rumah doa di atas lahan seluas 1.200 meter persegi itu. Syaratnya, rumah doa tak boleh berubah menjadi gereja. Warga dusun pun mewanti-wanti pemilik rumah doa agar memasang patung di dalam ruangan. Faktanya, sejak Desember 2022, patung setinggi lima meter berdiri tegak di depan rumah doa itu.

Pemerintah daerah semestinya sigap mencegah benih konflik bertumbuh di masyarakat. Namun, tak hanya lamban mengantisipasi gesekan, koordinasi antar-aparat pemerintah di lapangan pun berjalan semrawut. Kepolisian Resor Kulon Progo memperkeruh suasana dengan berupaya menutup-nutupi persoalan. Alih-alih mencari jalan tengah, polisi malah membela para penggeruduk dan menyatakan pengurus rumah doa sendiri yang berinisiatif menutupi patung dengan terpal.

Sulit dibantah, ketidaktegasan aparat turut membuat tindakan intoleran di Yogyakarta terus berulang dalam beberapa tahun belakangan. Pada awal 2018, misalnya, sekelompok orang membubarkan bakti sosial Gereja Santo Paulus Pringgolayan, Bantul, dan menuding kegiatan tersebut sebagai upaya kristenisasi terselubung.

Pada tahun yang sama, massa membubarkan acara sedekah laut di Pantai Baru, Prandakan, Bantul, yang mereka anggap perbuatan syirik. Walhasil, penelitian Setara Institute pada 2019 menyimpulkan Yogyakarta termasuk satu dari sepuluh daerah dengan angka kasus pelanggaran kebebasan beragama tertinggi. Yang kian merisaukan, hasil riset Setara pada 2021 mengkonfirmasi kesimpulan tersebut.


Baca liputan:

Pada 2019, Sri Sultan memang pernah mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 1 tentang Pencegahan Potensi Konflik Sosial. Lewat peraturan itu, Sultan meminta semua perangkat pemerintah hingga tingkat desa membina dan mengawasi kebebasan beragama. Masalahnya, kebebasan dan kerukunan beragama tak cukup dijaga dengan sehelai kertas instruksi. Perlu kesungguhan dan kerja keras semua aparat di lapangan agar instruksi itu bisa berjalan.

Yang tak kalah penting, sebagai pemimpin daerah, Sri Sultan semestinya bersikap lebih tegas kepada kelompok mana pun yang melakukan tindakan intoleran. Respons Sultan yang minimalis terhadap penutupan patung Bunda Maria menunjukkan bahwa intoleransi kian menjadi masalah besar di Yogyakarta.

Berita Lainnya