Gelar Profesor Bukan Jatah Pembesar

Gubernur Bank Sentral tak memerlukan gelar profesor kehormatan. Petisi para dosen melawan kebijakan rektor UGM wajib didukung.

Tempo

Minggu, 26 Februari 2023

IKHTIAR ratusan dosen Universitas Gadjah Mada menjaga muruah perguruan tinggi dengan menolak pemberian gelar profesor kehormatan buat kalangan nonakademis adalah angin segar untuk publik. Ketika banyak orang begitu mendewakan gelar, dari doktorandus hingga doctor honoris causa, sikap para intelektual kampus ini jadi pengingat penting. 

Tren gila gelar di masyarakat kita mungkin bisa menjelaskan motivasi banyak pebisnis dan penguasa ngotot menambahkan gelar di belakang namanya. Keinginan itu disambut para birokrat kampus yang getol mencari cara menambah pemasukan atau melengkapi infrastruktur dan prasarana untuk lembaganya. Komersialisasi gelar akademik semacam ini harus dicegah agar mutu pendidikan kita tak terus merosot.

Penolakan para dosen UGM terkait dengan usul rektor menjadikan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebagai profesor kehormatan di sana. Perry sendiri kini ada di puncak kariernya sebagai ekonom. Dalam pemilihan mendatang, dia menjadi calon tunggal Gubernur BI periode 2023-2028. Sejak era Rachmat Saleh 45 tahun silam, belum ada gubernur bank sentral yang menjabat dua periode. Meski masih mengajar paruh waktu, Perry, yang juga doktor ekonomi moneter dan internasional dari Iowa State University, Amerika Serikat, tentu bukan akademikus murni yang bergelut dengan riset dan dialektika keilmuan. Karena itu, wajar jika usul pemberian titel profesor kehormatan dari almamaternya ini menyulut protes. Perlawanan sekelompok dosen lintas fakultas di Kampus Biru adalah suara yang perlu kita dukung.

Kita semua harus paham bahwa profesor adalah jabatan akademik. Jenjang karier dosen meliputi asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar atau profesor. Kenaikan tingkat diukur dari kredit mengajar, studi, publikasi ilmiah, dan lainnya. 

Agar tidak ada kesimpangsiuran, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 yang mengatur ihwal profesor kehormatan perlu direvisi. Tidak ada yang salah dalam penunjukan profesor kehormatan selama rekam jejak akademik penerimanya memenuhi syarat. Praktik semacam ini juga berlaku di negara-negara dengan universitas tertua di Eropa dan Amerika Serikat. 

Sayangnya, selama ini di Indonesia sulit mendapati unsur ilmu pengetahuan dalam pengangkatan guru besar kehormatan di sejumlah kampus. Kebanyakan penerimanya adalah pejabat publik yang masih aktif. Universitas yang baru dibentuk, misalnya, merasa perlu memasukkan "orang penting" ke daftar civitas academica-nya. Bagi sang tokoh, tambahan gelar bisa menjadi pendongkrak kredibilitas. 

Hubungan mutualisme yang menyimpang seperti ini juga banyak diwujudkan lewat pemberian gelar honoris causa. Praktik ini belakangan makin menjadi-jadi meski kritik publik juga kian deras. 


Artikel:


Menteri Pendidikan Nadiem Makarim perlu turun tangan menjernihkan situasi. Pemerintah perlu mengembalikan persyaratan yang dihapus dari ketentuan sebelumnya. Dalam peraturan lama, ada ketentuan yang mewajibkan semua civitas academica memiliki pengetahuan yang berpotensi dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit dan bermanfaat bagi kesejahteraan manusia.

Ada juga ketentuan penting lain, yaitu masa jabatan profesor kehormatan yang tak lebih dari lima tahun. Jadi, selepas separuh dekade, jika penyandangnya tak lagi mengajar dan meneliti, gelar itu tak berlaku. Dengan revisi aturan, kita berharap para pembesar tak lagi berburu gelar akademik

Berita Lainnya