Melawan Gurita Mafia Lahan

Mafia tanah merajalela. Perlu reformasi total dan penegakan hukum yang kebal suap.

Tempo

Minggu, 5 Februari 2023

IBARAT sel kanker yang mengalami metastasis, jaringan "mafia tanah" telah menjalar ke mana-mana. Meski wujudnya tak kasatmata, daya rusaknya sangat nyata. Sialnya, dalam banyak kasus, negara pun tak bisa menjamin hak kepemilikan lahan yang seharusnya menjadi layanan mendasar bagi warganya.

Tampaknya itulah yang terjadi pada sengketa tanah yang melibatkan Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia Supardi Kendi Budiardjo dan anak usaha Agung Sedayu Group. Kedua pihak memperebutkan tanah seluas 2.231 meter persegi di Cengkareng, Jakarta Barat, sejak 2010.

Pihak Agung Sedayu mempersoalkan girik tahun 1970-an yang dipegang Budiardjo yang tidak tercatat dalam buku letter C Kelurahan Cengkareng Barat. Sebaliknya, Budiardjo mempermasalahkan sertifikat hak guna bangunan atas nama PT Bangun Marga Jaya yang dikantongi Agung Sedayu. Sebab, sertifikat itu sudah terbit pada 1997, sementara PT Bangun Marga Jaya baru berdiri pada 2008.

Belakangan, polisi menetapkan Budiardjo sebagai tersangka dan menahannya dengan tuduhan pemalsuan surat-surat tanah. Apakah Budiardjo benar pemalsu dokumen atau korban jaringan mafia tanah? Apakah sertifikat yang dipegang Agung Sedayu terbit secara sah atau hasil manipulasi? Semuanya perlu pembuktian di pengadilan yang jujur dan adil.

Dari sekian banyak kasus mafia lahan yang mencuat, pemalsuan dokumen adalah modus kejahatan yang paling sering terjadi. Kementerian Agraria dan Tata Ruang pernah merilis data: proporsi kasus pemalsuan dokumen paling dominan (66,7 persen), diikuti penggelapan atau penipuan, pendudukan lahan kosong secara ilegal, serta jual-beli tanah sengketa.

Celakanya, pemalsuan dokumen tak hanya terjadi di ruang-ruang "gelap" tempat mafia tanah beroperasi. Dari ruang terang kantor Badan Pertanahan Nasional pun sertifikat ganda bisa terbit. Padahal, ketika ada sertifikat ganda, tidak mungkin keduanya asli. Kalau bukan salah satunya yang palsu, dua-duanya pasti aspal alias asli tapi palsu.

Selama ini, pemerintah dan BPN sering lepas tangan dengan mempersilakan pemegang sertifikat ganda saling menggugat di pengadilan. Mahkamah Agung memang telah membuat semacam yurisprudensi: bila ada sengketa lahan dengan bukti dua sertifikat, hakim akan memenangkan pemilik sertifikat yang terbit lebih dulu. Masalahnya, tahun terbit sertifikat bisa saja dibuat mundur. Akibatnya, pemilik lahan yang sesungguhnya bisa dirampas haknya oleh mafia tanah.

Di tengah administrasi pertanahan yang kacau-balau, mafia tanah tak hanya mengincar lahan tak besertifikat yang digarap masyarakat. Mereka pun kerap menggangsir lahan milik negara yang tidak lengkap dokumennya. Bersekongkol dengan pegawai pemerintah yang mengetahui kelemahan dokumen itu, mafia tanah bisa merampas lahan negara atau menuntut uang "ganti rugi" yang tidak semestinya lewat pengadilan.

Telanjur menggurita, jaringan mafia tanah tak cukup diperangi dengan bagi-bagi sertifikat hak milik seperti kebijakan Presiden Joko Widodo. Perlu reformasi total tata kelola pertanahan dan penegakan hukum yang tak pandang bulu serta kedap suap.

Artikel:

Berita Lainnya