Peta Buta Konflik Agraria

Konflik agraria terus meletus di masa pandemi. Perpu Cipta Kerja memperburuk tata kelola pemanfaatan lahan.

Tempo

Minggu, 29 Januari 2023

PANDEMI Covid-19 tak menyurutkan konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria, sebuah lembaga swadaya masyarakat, mencatat sepanjang 2020 jumlah konflik lahan sebanyak 241 kasus. Sempat turun menjadi 207 kasus pada 2021, angkanya naik lagi hingga 212 kasus tahun lalu. Konflik di lahan perkebunan serta kehutanan, antara perusahaan dan masyarakat, paling sering terjadi dari tahun ke tahun.

Lazimnya konflik agraria mencuat seiring dengan naiknya pertumbuhan ekonomi. Ketika industri meluaskan skala usaha, mereka membutuhkan lahan. Perluasan lahan memicu bentrokan dengan masyarakat yang lebih dulu tinggal di wilayah konsesi. Namun anomali terjadi semasa pandemi. Ketika ekonomi sedang mengalami resesi, konflik agraria malah meletus terus-menerus. 

Konflik agraria adalah buah manajemen lahan dan tata ruang yang buruk. Selama ini, pembangunan dan pembagian konsesi untuk industri demi menumbuhkan ekonomi selalu memakai “peta buta”. Ketika memberikan izin konsesi atau lahan untuk infrastruktur, pemerintah menganggapnya sebagai ruang kosong dan mengabaikan permukiman masyarakat. Industri yang lebih digdaya pun kerap mengusir penduduk dengan bantuan aparatur negara.

Ketimpangan posisi hukum masyarakat dan industri itu kini diperparah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja yang menekankan syarat legalitas dan lama masa tinggal bagi penduduk lokal atau masyarakat adat di wilayah konsesi. Alih-alih berpihak kepada yang lemah, dengan memudahkan urusan warga setempat, pemerintah malah memberlakukan syarat legalitas dan administratif yang rumit kepada mereka. 

Selama "karpet merah" dari pemerintah untuk industri tak diimbangi dengan keberpihakan kepada masyarakat, jangan berharap konflik agraria akan terpecahkan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan mesti selaras serta punya kedudukan setara.

Pemerintah seharusnya menyelaraskan ketiga penopang kelestarian itu melalui lembaga sertifikasi. Lembaga ini mesti konsisten menjadikan pemenuhan tiga aspek tersebut dalam pengoperasian perusahaan sebagai syarat sertifikasi hijau. Jika perusahaan mengabaikan hak masyarakat atau membiarkan konflik berlarut di wilayah konsesinya, komoditas yang mereka hasilkan seharusnya tak mendapat sertifikat layak jual.  

Masalahnya, biaya audit lembaga sertifikasi selama ini bersumber dari perusahaan auditee. Tak ada pengawasan yang ketat atas kinerja mereka, konflik kepentingan itu menyeret lembaga sertifikasi menjadi tukang stempel belaka. Industri tetap bisa memproses dan menjual komoditas yang mereka hasilkan meski merampas lahan masyarakat, mengusir penduduk lokal, bahkan merusak lingkungan. 

Konflik agraria di Papua, Kalimantan, Sumatera, bahkan Jawa melibatkan perusahaan perkebunan sawit, batu bara, dan pemegang hak pengusahaan hutan atau hutan tanaman industri yang mendapatkan karpet merah dari pemerintah. Mereka berseteru dengan masyarakat adat dan penduduk lokal yang diabaikan. Bila Perpu Cipta Kerja disetujui Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang, konflik lahan bakal makin sulit diselesaikan.

Artikel:

Berita Lainnya