Gagap Kampus pada Kekerasan Seksual

Persekusi di Universitas Gunadarma menelanjangi cara kampus menghadapi kekerasan seksual. Polisi juga bertindak sembrono.

Tempo

Minggu, 1 Januari 2023

PERSEKUSI terhadap dua mahasiswa Universitas Gunadarma di Depok, Jawa Barat, yang dituduh melakukan kekerasan seksual seharusnya tak patut terjadi. Tindakan barbar para mahasiswa itu sekaligus menunjukkan ketidakmampuan kampus mengurus kasus kekerasan seksual. Apalagi, pada saat yang sama, manajemen Gunadarma juga tidak menjalankan prosedur baku penanganan kasus kekerasan seksual yang sebetulnya sudah tersedia.

Para mahasiswa Gunadarma merisak dua rekan mereka yang dituduh melakukan kekerasan seksual terhadap tiga perempuan. Keduanya diikat di pohon, ditelanjangi, dan dipaksa meminum air kencing. Pada hari yang sama, korban kekerasan seksual melapor ke Kepolisian Resor Kota Depok. Namun laporan tersebut dicabut sehari kemudian setelah polisi menjalankan restorative justice—atau, gampangnya, jalan damaiantara korban dan pelaku.

Rektorat Universitas Gunadarma seharusnya menjatuhkan sanksi tegas bagi pelaku persekusi. Tindakan main hakim sendiri tak boleh dilakukan, apalagi di lingkungan pendidikan yang lazimnya diisi intelektual. Para pelaku perisakan bertindak layaknya koboi yang membalas kekerasan dengan kekerasan lain.

Baca: Tokoh Tempo 2022, Para Pembela Korban Kekerasan Seksual

Jelas hukuman juga mesti diberikan bagi mahasiswa yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tak boleh didiamkan. Gunadarma sebaiknya tak bersikap permisif jika terduga benar-benar melakukan kekerasan seksual. Membiarkan pelaku kejahatan seksual berada di lingkungan kampus sama saja ikut mendukung pelanggaran yang dilakukannya dan menyuburkan rasa trauma para korban.

Masalahnya, korban kekerasan seksual telanjur mencabut laporannya. Inilah buah dari tindakan cacat hukum Kepolisian Resor Kota Depok yang mendamaikan korban dan pelaku. Mungkin polisi di Depok tak rajin memperbarui pengetahuan mereka tentang hukum. Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual jelas melarang penyelesaian di luar pengadilan, kecuali jika pelakunya anak-anak.

Kesembronoan polisi menggelar jalan damai dalam kasus kekerasan seksual seolah-olah menunjukkan keberpihakan kepada para pelaku. Langkah ini membahayakan pengusutan kasus serupa pada masa mendatang. Bagaimana korban berani melapor jika polisi memperlakukan kekerasan seksual seperti kasus pencurian ringan yang bisa diselesaikan lewat perdamaian? Polisi seharusnya paham, korban kekerasan seksual berhak mendapat rasa keadilan dan perlindungan.

Baca: Predator Seks di Kampus Kita

Perubahan cara pandang terhadap penanganan kekerasan seksual juga harus dilakukan civitas academica Universitas Gunadarma—dan kampus lain. Penelusuran majalah ini menunjukkan Gunadarma belum membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Padahal Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 mewajibkan pembentukan satuan tugas tersebut paling lambat pada 3 September 2022.

Kelambanan Gunadarma membentuk satuan tugas memperlihatkan secara nyata bagaimana kampus itu mencegah dan mengatasi kasus kekerasan seksual. Persekusi terhadap terduga kekerasan seksual di Gunadarma mungkin bisa dihindari seandainya satuan tugas telah terbentuk dan bekerja maksimal. Pun para korban bisa mendapatkan perlindungan dan pendampingan. Tanpa ada keseriusan rektorat, kampus akan terus berpotensi menjadi sarang predator seksual.

Artikel:

Berita Lainnya