Mengapa Subsidi Biodiesel B30 BPDPKS Dinikmati Pengusaha

Pengusaha besar yang dekat dengan pemerintah mendapat manfaat terbesar dari dana sawit BPDPKS. Sarat konflik kepentingan.

Tempo

Sabtu, 9 April 2022

BADAN Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)—untuk gampangnya kita sebut saja Badan Sawit—sebenarnya mengemban tugas mulia. Lembaga ini bertugas mengembangkan komoditas sawit berkelanjutan dengan enam jenis kegiatan. Kenyataannya yang mereka utamakan cuma satu: menopang pengembangan biodiesel.

Pada 2015-2021, Badan Sawit mengumpulkan Rp 139,2 triliun dari pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Hampir 80 persen digunakan untuk subsidi biodiesel B30 (baca liputannya).

Lima program lain tak diperhatikan alias jadi anak tiri: pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan, serta pembangunan sarana dan prasarana perkebunan. Dana peremajaan sawit rakyat pada 2016-2021, misalnya, hanya Rp 6,59 triliun atau 5 persen.

Dengan komposisi timpang, sebagian besar dana pungutan kelapa sawit mengalir ke para pengusaha. Pengembangan perkebunan sawit rakyat dikesampingkan sehingga kesejahteraan petani sawit tak beranjak. Penyaluran dananya pun untuk perusahaan yang dekat dengan pemerintah.

Akar masalahnya ada pada model organisasi Badan Sawit dan cara mereka mengelola dana. Meski badan layanan umum dan dipimpin pejabat non-eselon di bawah Kementerian Keuangan, pengambil keputusan badan itu berada di tangan Komite Pengarah. Komite terdiri atas delapan kementerian dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian. Badan Sawit hanya berperan sebagai kasir.

Di tangan pejabat cum politikus yang sarat kepentingan, model organisasi itu rawan disalahgunakan. Dipimpin Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian dan Ketua Umum Partai Golkar, Komite Pengarah Badan Sawit melibatkan empat pengusaha produsen biodiesel dalam setiap rapat. Posisi ini membuat industri biodiesel B30 mendapat benefit terbesar.

Bersama para pengusaha sawit, Komite Pengarah menentukan faktor konversi harga asam lemak nabati (FAME), bahan utama biodiesel. Pengusaha ditengarai mengusulkan harga tinggi untuk produk ini. Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan ada kelebihan hingga Rp 4,2 triliun pada 2020. Faktor konversi biaya asam lemak nabati itu yang menentukan subsidi kepada produsen biodiesel. Hitungan subsidi adalah selisih antara harga indeks pasar biodiesel dan harga solar di tingkat akhir.

Pembahasan harga konversi semacam itu semestinya cukup dilakukan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 sudah mengatur tugas Komite Pengarah hanya menetapkan volume pengadaan, alokasi subsidi, dan kebijakan strategis lain yang berkaitan dengan biodiesel. Pelanggaran aturan itu diperparah oleh mekanisme penentuan kuota produksi biodiesel yang menguntungkan sejumlah produsen.

Problem kedua adalah pengelolaan dana sawit yang dikenal sebagai on budget off treasury: pungutan dicatat sebagai penerimaan negara tapi tidak masuk kas negara. Model ini awalnya dipilih karena Badan Sawit bertugas sebagai stabilisator harga terutama ketika harga sawit dunia jatuh akibat kelebihan pasokan. Untuk mengatasinya, pemerintah menciptakan pasar dalam negeri melalui program biodiesel alias pencampuran solar dengan minyak sawit.

Perpaduan model organisasi yang sungsang dan mekanisme pengelolaan dana yang pincang itu memuluskan masuknya aneka kepentingan. Kedua soal harus dibenahi secara bersamaan. Dana sawit seharusnya dimasukkan ke kas negara, seperti pungutan atau pendapatan negara bukan pajak. Alokasi dana pengembangan sawit berkelanjutan selanjutnya diputuskan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


Baca liputannya:


Kepentingan pengusaha dalam Komite Pengarah harus dijauhkan. Aparat penegak hukum harus menelusuri kemungkinan adanya korupsi dalam praktik yang telah berjalan. Dugaan penentuan harga yang terlalu mahal—sehingga membuat subsidi biodiesel sedemikian tinggi—dapat dipakai sebagai indikasi awal.

Dua pembenahan itu akan menjadikan BPDPKS kembali ke tujuan awal: mengembangkan industri sawit berkelanjutan. Kepentingan perkebunan rakyat pun bisa dijaga dari ketamakan segelintir pemain besar sawit dan pengusaha cum politikus.

Berita Lainnya