Politik Uang ala Amerika

DARAH berceceran di Wall Street, bursa saham Amerika, pekan lalu. Harga saham WorldCom terjun bebas dan perusahaan raksasa telekomunikasi itu terancam bangkrut. Menyusul Enron pada awal Desember tahun lalu, skandal demi skandal terus menghantui kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini, membuat orang bertanya masihkah Amerika layak disebut "surga" bagi praktek usaha yang fair dan bersih.

Skandal WorldCom bahkan dikatakan sebagai skandal keuangan terbesar sepanjang sejarah—lebih besar dari Enron, yang belakangan ini ikut mengguncang stabilitas politik di Washington.

Kasus WorldCom terungkap pekan lalu ketika manajemen perusahaan telepon jarak jauh berbasis teknologi informasi ini mengoreksi laporan keuangannya. Perusahaan yang bermarkas di Mississippi itu mengaku masih merugi, bukannya untung seperti ditunjukkan dalam laporan mereka pada tahun lalu dan triwulan pertama tahun ini. Mereka mengaku memoles akuntansi perusahaan sehingga menampakkan seolah-olah mereka untung bersih sampai US$ 3,8 miliar pada dua periode tersebut.

Akibat pengakuan dosa itu sungguh hebat. Hanya beberapa jam kemudian, harga saham WorldCom langsung terpangkas 80 persen nilainya menjadi 83 sen ketika Nasdaq menghentikan perdagangannya. Harga saham perusahaan itu sebetulnya sudah jatuh dari kisaran US$ 6 ketika perusahaan tersebut mengumumkan pengu-rangan karyawan 10 persen dari 75 ribu orang pada April lalu.

Padahal, harga sahamnya pernah terbang tinggi mencapai US$ 65 pada Juni 1999—di tengah antusiasme orang terhadap usaha dotcom. Perusahaan tersebut juga pernah menjadi anak emas di Wall Street.

Seperti terhadap Enron, siapa pun tak menduga perusahaan dengan aset US$ 104 miliar itu akan rontok seperti rumah kartu. Menyediakan jasa komunikasi suara, data, internet, dan jaringan kepada perusahaan-perusahaan komersial yang tersebar di 124 kota dunia, WorldCom juga dipandang punya masa depan bagus. Setahun lalu, 10 analis terkemuka memberi peringkat tertinggi baginya.

Tapi kini, dengan utang hampir US$ 30 miliar, hampir pasti WorldCom bakal bangkrut. Pengurangan 17 ribu pegawai—bisa menghemat pengeluaran US$ 900 juta per tahun—diyakini banyak kalangan tak akan banyak menolong.

"Kasus ini membuat saya malu," kata Jeffrey Halpern, analis telekomunikasi di sebuah perusahaan pemberi peringkat. "Saya sedih telah memberikan advis kepada investor untuk membeli saham perusahaan yang ternyata mengalami kesulitan."

Manajemen WorldCom memoles neraca rugi-laba lewat manipulasi akuntansi, persis seperti Enron. Direktur Keuangan Scott Sullivan—dipecat setelah WorldCom mengumumkan skandal ini—diduga terlibat memasukkan pengeluaran pemakaian jaringan menjadi modal.

Badan Pengawas Pasar Modal Amerika (SEC) menuduh akrobat akuntansi itu dilakukan agar perusahaan bisa tetap meraih laba sesuai dengan yang diprediksi para analis sehingga sahamnya tetap diminati investor.

Anehnya, semua itu bisa berlangsung mulus. Yang mencengangkan, auditornya, lagi-lagi Arthur Andersen, tak melihat adanya keanehan tersebut. Andersen mengatakan tidak tahu-menahu karena manajemen WorldCom tidak mengonsultasikan perubahan akuntansi itu. Tapi, setelah keterlibatannya dalam Enron, banyak orang tidak percaya. Frank Dzubeck, presiden perusahaan konsultan Communications Network Architects, menuding Andersen ikut terlibat aktif. "Manajemen WorldCom itu para koboi, dan Andersen bersedia mengikuti kemauan mereka," tuturnya.

Sumpah-serapah ke kalangan akuntan makin menjadi. Apalagi, hanya sehari setelah WorldCom, perusahaan raksasa lain, Xerox, juga mengumumkan akan mengoreksi laporan keuangan mereka yang melebihkan keuntungan sampai US$ 6,4 miliar dalam lima tahun terakhir. Mereka menyusul ImClone System, Adelphia Communications, dan Tyco International, yang mengaku berdosa.

Menjadi kuburan massal perusahaan besar akibat manipulasi akuntansi, bursa-bursa Amerika kini berada di titik nadir kepercayaan para investor. Indeks-indeks saham Dow Jones dan Nasdaq kini jatuh ke posisi yang kurang-lebih sama dengan posisi mereka setelah serangan teroris 11 September.

Itulah yang mendorong senator Partai Demokrat, Thomas Daschle, mengumumkan rencananya untuk mempercepat investigasi struktural terhadap industri akuntansi yang semula direncanakan September mendatang. Kalangan Partai Republik tak ingin ketinggalan kereta. "Skandal terakhir ini menjadi titik penting bagi Kongres untuk menciptakan undang-undang baru yang bisa mencegah praktek serupa di masa datang dan bisa memulihkan kepercayaan investor," kata W.J. "Billy" Tauzin dari Partai Republik.

Repotnya, sebagaimana Enron, WorldCom juga merupakan penyumbang terbesar bagi anggota Kongres. Seperti dikutip dari Inside VC Network, delapan dari 10 anggota Kongres yang akan menyelidiki kasus ini justru pernah menerima sumbangan US$ 450 ribu.

M. Taufiqurohman

Minggu, 7 Juli 2002

DARAH berceceran di Wall Street, bursa saham Amerika, pekan lalu. Harga saham WorldCom terjun bebas dan perusahaan raksasa telekomunikasi itu terancam bangkrut. Menyusul Enron pada awal Desember tahun lalu, skandal demi skandal terus menghantui kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini, membuat orang bertanya masihkah Amerika layak disebut "surga" bagi praktek usaha yang fair dan bersih.

Skandal WorldCom bahkan dikatakan sebagai skan

...

Berita Lainnya