Ludruk yang Menolak Mati

Sejak pertama kali tercatat pada 1907 sebagai wong lorek, ludruk terus beradaptasi, melintasi perjalanan waktu dan rezim. Antropolog sosial dari Universitas North Carolina, James L. Peacock, terpesona oleh seni ini, dan ia menulis buku yang jadi klasik tentang itu.

Ludruk, teater rakyat yang berasal dari kalangan miskin, telah bergerak: dari bentuk ngamen dari desa ke desa, pentas di pesta rakyat, menjadi bagian dari perjuangan, alat propaganda, hingga bertahan di jalur komersial. Dari masa ke masa, ada kelompok ludruk yang berjaya dan yang mati. Tapi, apa pun bentuknya, dan betapapun subtilnya, dagelan dan spirit protes dalam ludruk tetap bertahan.

Senin, 19 Desember 2005

Sore itu hujan tak jadi turun. Beberapa jam sebelumnya, Sakia Sunaryo memandang langit yang keruh bersama sebatang rokok kretek. Ia gelisah. Hujan berarti tiada penonton yang datang, dan itu berarti mereka tidak makan malam.

Sakia, 57 tahun, seorang waria. Wajahnya cokelat, banyak keriput, kepalanya plontos. Ia pemimpin Ludruk Irama Budaya, Surabaya, dan malam itu ia melakukan sesuatu yang tak disukainya. Pertunjukan saat itu hanya sanggup meng

...

Berita Lainnya