Penggila Indonesia yang Dihujat dan Dipuja

DIA orang Minang yang terpesona pada Jawa dan kebesaran Majapahit. Ia mempelajari kebudayaan Jawa dan menguasai bahasa Sanskerta. Ia mendambakan Indonesia yang lebih besar daripada kerajaan-kerajaan Nusantara. Ia menggagas wilayah Indonesia hingga Semenanjung Malaya, Kalimantan Utara, Timor Portugis, Irian, dan Papua Nugini. Ia memimpikan persatuan Indonesia lebih dari yang pernah dibayangkan Hatta atau Sjahrir.

Muhammad Yamin mungkin lahir pada era ketika Indonesia hanya punya dua pilihan: bersatu atau porak-poranda sama sekali. Karena itu, ia menciptakan ikon: Gajah Mada, mahapatih yang pernah bersumpah untuk menyatukan Nusantara.

Lebih dari sekadar memetik gagasan panglima perang Majapahit itu, Yamin merasa perlu mencari raut wajah Gajah Mada. Ia memungutnya dari gambar yang tertera pada celengan terakota yang dipercaya datang dari era Majapahit. Raut itulah yang kita kenal sekarang sebagai wajah Gajah Mada. Terhadap kritik yang menyebutnya tak mengindahkan verifikasi arkeologis, dengan santai ia berkomentar, "Jika ada yang tak sepakat, silakan membuktikan yang sebaliknyalah yang benar."

Sejarah barangkali memiliki kegilaannya sendiri. Karena itu, revolusi Indonesia harus dipandang secara lebih rileks. Tak perlu ada glorifikasi karena mozaik itu disusun oleh manusia biasa. Muhammad Yamin cuma salah satunya.

Senin, 18 Agustus 2014

DUDUK bersebelahan, Muhammad Yamin menyodorkan kertas itu kepada Soegondo Djojopoespito. Saat itu 28 Oktober 1928, hari terakhir pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia II. Di podium, Mr Soenario, wakil dari kepanduan, tengah berpidato. Membaca serius, Soegondo, yang mengetuai kongres, menganggukkan kepala. Ia menorehkan paraf. "Saya setuju," kata Soegondo seraya menyerahkan kertas kepada Amir Sjarifuddin, wakil Jong Bataks Bond. Seperti Soegondo, Ami

...

Berita Lainnya