Tragedi Seorang Penyair

PADA suatu siang Agustus 1996, dia pamit kepada istrinya untuk pergi bersembunyi. Sejak itu, penyair pelo ini mengembara dari satu kota ke kota lain, menghindar dari kejaran jenderal-jenderal di Jakarta yang marah-marah menuding puisinya menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Tapi, bahkan setelah rezim Soeharto tumbang, Wiji Thukul tak juga pulang. Banyak yang menduga dia menjadi korban penculikan dan pembunuhan di sekitar prahara Mei 1998. Istri dan beberapa kerabat dekatnya percaya dia masih hidup dan suatu ketika akan kembali.

Minggu, 12 Mei 2013

WIJI Thukul tak pernah kembali. Lelaki cadel itu—ia tak pernah bisa melafalkan huruf "r" dengan sempurna—dianggap membahayakan Orde Baru. Ia "cacat" wicara, tapi ia dianggap berbahaya.

Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona. Tapi, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut.

Selebaran, poster, s

...

Berita Lainnya