SOS: Pakistan
”Hidup saya mungkin akan berakhir seperti ayah atau saudara-saudara saya, tapi itu tak penting. Pakistan di atas segala-galanya.”
Benazir Bhutto memancangkan kalimat itu setelah selamat dari pengeboman pada Oktober lalu. Ya, ia seperti tengah meramal garis hidupnya. Datang dari pengasingannya di London untuk menyongsong bahaya, tapi ia tak surut. ”Karena saya merasa negeri ini dalam bahaya.”
Desing peluru dan bom bunuh diri di Rawalpindi pada Kamis lalu itu pun menghentikan langkahnya. Benazir berpulang di usia 54 tahun. Suhu politik Pakistan seketika mendidih. Pemilu pekan depan terancam batal. Kerusuhan di beberapa kota meledak. Puluhan orang tewas. Akan seperti apa masa depan Pakistan? Apakah Musharraf tetap bertakhta di tampuk kekuasaan? Tempo melaporkan dari Islamabad, Pakistan.
Senin, 31 Desember 2007
”Jiye Benazir! Hidup Benazir!”
Pekik ribuan pelayat mengoyak keheningan Desa Garhi Khuda Bakhs, Larkana, Provinsi Sindh, tempat mausoleum keluarga Bhutto terbaring. ”Jiye Bhutto!” Raung kesedihan itu bergelombang, susul-menyusul, seperti melodi qawwali yang kerap dilantunkan penyanyi karismatik Nusrat Fateh Ali Khan. Hanya kali ini tak ada kegembiraan. Pekik itu menjadi semacam ode perpisahan bagi tubuh beku Benazir, 54 tahun, yang terbu
...