Si Kalung Besi, Nasibmu Kini
SEJAK Gubernur Jenderal Baron Sloet van de Beele meresmikan pembangunan jalur pertama kereta api di Hindia Belanda pada 1864, jaringan sepur terus tumbuh hingga 7.000 kilometer. Di masa kolonial, bisnis kereta api tumbuh secara masif. Ekonomi rakyat menggeliat sejak rel dibangun. Kebiasaan masyarakat ikut berubah mengikuti hilir-mudik lokomotif. Peran rel kereta api—yang diramal Jayabaya tujuh abad sebelumnya dengan metafora kalung besi—perlahan surut seiring dengan keberpihakan pemerintah Indonesia pada infrastruktur jalan raya. Satu yang tetap hidup ialah narasi kehidupan masyarakat di sisi-sisi lintasan. Kini, Presiden Joko Widodo hendak mengaktifkan jalur mati dan membangun rel baru. Memperingati 150 tahun kehadiran kereta api di Indonesia, Tempo melakukan napak tilas di jalur-jalur mati dan rel baru yang dibangun sepeninggal Hindia Belanda.
Senin, 25 September 2017
TUJUH abad sebelum kehadiran kereta api di Nusantara, ramalan Jayabaya telah mendahuluinya. Raja Kediri yang berkuasa pada 1135-1157 itu sempat menenung demikian: Yen wis ana kreta tanpa jaran, tlatah Jawa bakal kalungan wesi-jika sudah ada kereta tanpa kuda, Jawa akan berkalung besi.
Adalah Kolonel Carel van der Wijck, perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), yang membuat nujum raja bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya itu perlaha
...