Jejak Berdarah Algojo 1965

KENANGAN Dasuki terantuk pada suatu sore awal November 1965 yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Di remang senja itu, anak delapan tahun ini melihat ratusan mayat bergelimpangan di halaman rumah Lurah Mlancu, Djamal Prawito, di perbatasan Kediri-Jombang, Jawa Timur.

Darah segar menggenangi halaman seluas 200 meter persegi itu. Pada pertengahan September 2012, warga Mlancu ini memandu Tempo menyusuri tempat pembantaian orang-orang yang dianggap sebagai kader Partai Komunis Indonesia di desanya, setelah pemberontakan Gerakan 30 September 1965 pecah di Jakarta.

Tempo menyusuri lubang-lubang pembantaian dan kubur tak bernama. Wartawan Tempo juga menjenguk bekas kamp-kamp konsentrasi, tempat tentara memenjara para tertuduh PKI sebelum dieksekusi. Kami melacak jejak berdarah itu ke Kediri, Solo, Yogyakarta, Palembang, Medan, Bali, hingga Palu dan bermuka-muka dengan para algojo, yang tanpa tedeng aling-aling membuka kisah kelam yang meremangkan bulu kuduk. Hingga lahirlah Liputan Khusus Majalah Tempo "Pengakuan Algojo 1965". Kontroversi pecah: ada yang mengecam, tapi ada pula yang memuji. Yang pasti, laporan ini terus bergaung hingga ke Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda.

Senin, 7 Maret 2016

PENYAMARAN Hari Tri Wasono untuk "menyelinap" ke rumah Kiai Idris Marzuki sukses. Mengenakan baju koko, celana bahan, dan peci, Hari menyaru sebagai santri agar bisa bertemu dengan pemimpin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, itu.

Upaya menyamar ini merupakan jalan terakhir Hari agar bisa bertemu dengan Kiai Idris pada awal September 2012. "Pengurus pondok pesantren selalu menolak permintaan wawancara karena isunya sensitif," kata korespon

...

Berita Lainnya