Berpaling ke Eropa Timur
PIALA Dunia "mini" kembali bergulir di Eropa, 7-29 Juni ini. Minus kesebelasan dari Amerika Latin dan Afrika, turnamen yang berlangsung di Swiss dan Austria itu bisa dikatakan paling prestisius di muka bumi. Enam belas negara berlaga-dan kita tahu Eropa kini merupakan kiblat sepak bola dunia. Di sana ada "industri" lapangan hijau dengan segala daya tariknya: uang besar, siaran televisi, penonton melimpah, dan bintang-bintang terbaik sejagat.
Tak perlu meringis karena Inggris tak tampil lantaran tersisih di babak kualifikasi. Masih ada Italia dan Prancis, finalis Piala Dunia 2006, yang sayangnya sudah harus saling merontokkan di penyisihan grup.
Selama ini orang selalu bicara tentang Eropa Barat sebagai calon juara. Jerman, Spanyol, dan Portugal tentu merupakan negara yang pantas dijagokan. Namun turnamen empat tahunan ini selalu saja menyuguhkan kejutan. Denmark pada 1992, dan Yunani empat tahun silam, menjadi juara meski tak diunggulkan.
Tahun ini mungkin "ledakan" datang dari Eropa Timur. Mereka punya semua syarat untuk juara: pemainnya terbiasa merumput bersama jawara sedunia di Eropa. Kini Eropa Timur bukanlah anak bawang yang kaku menyepak kulit bundar. Mereka cepat belajar, melesat, dan merebut perhatian dunia. Dan..., money talks, uang sudah memompa Eropa Timur menjadi kekuatan yang akan melibat siapa saja. Lihat saja!
Senin, 9 Juni 2008
GUUS Hiddink seperti ingin melupakan waktu. Berkemeja putih dengan pantalon hitam, ia kongko di lobi Hotel Marriott Royal Aurora di Moskow, suatu malam akhir Mei lalu. Jam tangan yang tak pernah lepas dari tangan pelatih sepak bola ini di pinggir lapangan, malam itu ia tanggalkan. Hiddink, 61 tahun, bekas pelatih tim nasional Belanda yang kini menangani Rusia, hanya mau bicara tentang cappuccino-kopi dengan buih putih dan butiran cokelat yang lek
...