Pada Sebuah Pasar Malam

HIRUK-pikuk itu dimulai di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan akan menggelinding ke seantero Nusantara. Mulai Rabu pekan lalu hingga akhir tahun nanti, 226 kabupaten dan provinsi menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Yang lain menyusul tahun depan.

Banyak yang bersorak: inilah saatnya rakyat bicara, menentukan sendiri pemimpin mereka. Yang lain bergidik, jeri menyaksikan ekses negatif pemilu lokal: bentrok antar-pendukung, politik uang, tokoh antagonis yang tiba-tiba naik panggung.

Ekses tak bisa dihindari, tapi pemilu, bagaimanapun, lebih baik ketimbang tak pemilu. Tanpa pilkada, politik uang, konflik, dan pemimpin buruk bukan tak ada. Zaman berubah. Era pemimpin daerah hanya tokoh titipan dari Jakarta berakhir sudah. Kini saatnya publik bicara.

Senin, 6 Juni 2005

DI balik setiap keriuhan selalu ada cerita. Tersebutlah Mohammad Ramdlan Siraj, Bupati Sumenep, Madura, juga tokoh Nahdlatul Ulama di daerah itu. Dalam pemilu daerah 20 Juni 2005 nanti, Ramdlan akan mencalonkan diri lagi menjadi bupati. Dulu, pada 2001, ia diusung Partai Kebangkitan Bangsa. Kini ia didorong Partai Persatuan Pembangunan.

Yang membuat Ramdlan tak enak tidur, dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dua minggu lagi ia mesti

...

Berita Lainnya