Seorang Martir Bernama Achmad Mochtar
Pada 3 Juli, 70 tahun silam, Achmad Mochtar, salah satu ilmuwan kedokteran terkemuka yang dimiliki Indonesia, tewas dipancung polisi militer Jepang. Pada 3 Juli 2015, ilmuwan Sangkot Marzuki dan J. Kevin Baird meluncurkan karya mereka, War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine di depan pusara Mochtar di Ereveld, Ancol, Jakarta Utara. Karya itu sebagai penghormatan terhadap Mochtar. Dia dipaksa mengaku bersalah oleh Jepang melakukan pencemaran terhadap vaksin untuk romusha sehingga hampir 400 romusha di kamp Klender tewas terkena tetanus. Sangkot berpendapat pengakuan itu dibuat Mochtar untuk menyelamatkan belasan sejawat dan bawahannya yang juga ditahan Kenpeitai. Mochtar adalah dokter yang banyak tahu bagaimana, pada masa perang, Jepang bereksperimen membuat vaksin tetanus dengan kelinci percobaan orang-orang romusha. Untuk menutupi eksperimen maut itu, Jepang mengkambinghitamkan Mochtar. Tempo menelusuri cerita tentang bagaimana Jepang membuat vaksin antitetanus itu. Seorang sejarawan Jepang, Profesor Aiko Kurasawa, banyak membantu Tempo dengan memberi informasi. Ia sendiri juga melakukan penelitian selama puluhan tahun mengenai proyek rahasia antitetanus Jepang ini. Juga bagaimana vaksin itu diujicobakan di kamp-kamp romusha di Jawa dan membuat ratusan romusha tewas. Sebuah kolom khusus ditulisnya untuk Tempo.
Senin, 29 Juni 2015
Bergetar bibir RA Kantjana Kusumasudjana, 93 tahun, saat menceritakan pengalamannya ditangkap oleh polisi militer Jepang 70 tahun silam. Beberapa kali ia terdiam dengan tatapan mata ke depan. Ia seperti menahan tangis. Nanny—begitu Kantjana disapa—ketika itu masih gadis dan bekerja sebagai analis di Laboratorium Eijkman di Batavia. Pada tengah hari awal Oktober 1944, saat makan siang di kafe kecil dekat kantor, Nanny dikejutkan oleh datangnya
...