Berebut Batu Bara Kalimantan

Ironi itu mengalir dari sebuah pulau yang bergelimang kekayaan tambang. Ironi itu terlukis di Sangatta, kota kecil di Kalimantan Timur, tempat tanah-tanah menghitam seperti malam oleh kemelimpah-ruahan batu bara. Dikeduk selama hampir satu dasawarsa oleh PT Kaltim Prima Coal (KPC)—usaha patungan dua raksasa asing, Beyond Petroleum (dulu, British Petroleum) dari Inggris dan Rio Tinto dari Australia—hasil tambang itu seharusnya telah dibagikan kepada Indonesia sejak 1995.

Namun, kasus divestasi saham KPC yang terus tertunda selama enam tahun terakhir membuat kekayaan itu belum kunjung memakmurkan rakyat—bahkan di tengah euforia desentralisasi politik dan ekonomi.

Tradisi transparansi yang rendah, konflik elite lokal, perseteruan daerah versus pusat, lobi-lobi tingkat tinggi, dan akal bulus perusahaan-perusahaan kacangan adalah kisah-kisah buram yang lahir di tengah adu lihai merebut batu bara Sangatta. Dan pertarungan itu kian sengit menjelang tenggat divestasi pada 30 Juni 2002.

Minggu, 16 Juni 2002

DALAM salah satu cerita kenangannya, By the Shores of Silver Lake, penulis Amerika Laura Ingalls Wilder melukiskan sebuah episode yang mendebarkan ingatan kanak-kanaknya. Di suatu petang, di padang rumput Dakota, ia menatap asap yang membubung dan memekatkan langit di kejauhan. "Asap hitam itu datang dari batu bara dan kelak mengubah wajah negeri ini dan menyapu bersih semua kereta kuda dari daratan Amerika," ayahnya, Charles Ingalls, menjelask

...

Berita Lainnya