Mufakat Memulihkan Etika Demokrasi

Dinamika demokrasi akhir-akhir ini membangun kesadaran betapa pentingnya nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. 

Iklan

Minggu, 1 September 2024

Sembilan belas pakar dari berbagai perguruan tinggi urun rembuk dalam membedah kondisi bangsa saat ini dan merefleksikannya dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita itu adalah kemerdekaan, kedaulatan, kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut menjaga ketertiban dunia.

Selama tujuh jam, mereka mencurahkan sudut pandang sesuai bidang keilmuan masing-masing dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara dalam Berbangsa dan Bernegara” di Hotel Sari Pacific, Jakarta, pada Selasa, 27 Agustus 2024. Inti dari diskusi tersebut, mencari solusi agar cita-cita bangsa tetap berada di jalurnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Muhammad Amin Abdullah mengatakan, diskusi dengan para pakar ini berupaya menjawab kegundahan yang muncul dalam 79 tahun kemerdekaan Indonesia. Negara ini bukannya bertumbuh kuat, melainkan kian goyah akibat hilangnya etika. Pudarnya etika terlihat pada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemilihan presiden. Dan mencapai puncaknya ketika Badan Legislasi DPR memaksa pembahasan undang-undang yang telah dianulir MK.

Pakar Hak Asasi Manusia dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Hafid Abbas mengatakan, jika keadaan ini dibiarkan berlarut, maka berpotensi menggenapi prediksi Bank Dunia bahwa Indonesia akan bubar. “Karena institusi tersebut melihat Indonesia ini rapuh dan lapuk dari dalam,” ujarnya.

Suparman Marzuki, akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang mengetengahkan esai berjudul “Etika Berdemokrasi dan Berhukum”, mengusulkan agar Indonesia memiliki mahkamah etika. “Semua organisasi profesi punya majelis etika,” katanya. “Di DPR, kehakiman, kejaksaan, kepolisian, semua ada majelis etika. Jadi, BPIP bisa mempelopori (pembentukan mahkamah etika), saya kira keren.”

Pertemuan ini menghasilkan sejumlah rekomendasi. Terkait sistem hukum, perlu dibentuk Undang-Undang Lembaga Kepresidenan serta Lembaga Etik Kepresidenan. Kemudian memperkuat struktur BPK dan KPK, memperkuat independensi dan imparsialitas lembaga peradilan, serta memperbaiki institusi kepolisian. BPIP juga mengusulkan dibentuknya undang-undang mengenai Office Government Ethics (OGE).

Di bidang pendidikan, perlu penguatan pemahaman sejarah bangsa Indonesia dan materi pendidikan Pancasila agar berbasis hak dan nilai masyarakat bukan sekadar mengutamakan pengajaran normatif, simbolis seperti hormat bendera. Sedangkan di sektor politik, harus ada penguatan sistem pertanggungjawaban partai politik kepada publik.

Adapun kelembagaan BPIP harus menjalankan perannya sebagai penyambung “lidah rakyat” yang seharusnya menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan praksis dan menyuarakan kebenaran, bukan lembaga dogmatis, yang hanya bertugas sosialisasi. Penyelenggara negara juga harus mengacu pada TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Selain para pakar tadi, pembicara lainnya, yakni Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto; Pakar Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko; Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo; Tokoh Agama dan Ahli Etika, Martin L. Sinaga; Pakar Politik Demokrasi dan Pembangunan Nasional, Andi Widjajanto; Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti; serta Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikrar Nusa Bhakti.

Berita Lainnya