Waspadai Tindak Kejahatan Digitalisasi Keuangan

Edukasi terus dilakukan, tapi masyarakat juga harus aware terhadap data dirinya. #Infotempo

Iklan

Sabtu, 2 Juli 2022

Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan, Sarjito, mengatakan, kejahatan di sektor jasa keuangan akibat digitalisasi sangat luar biasa. Hal itu karena adanya kemudahan untuk melakukan penipuan.

"Sebaran daerahnya saya kira cukup merata tapi paling banyak di kota besar, karena yang mengadu ke kami biasanya di kota besar, karena mereka sadar dan menghubungi kami," kata Sarjito dalam Dialog Industri Financial Series, dengan tema Literasi Keuangan dan Perlindungan Konsumen, yang disiarkan YouTube Tempo Media, Selasa, 5 Juli 2022.

Senior Vice President CISO Office Bank Mandiri, Saladin D Effendi, menjelaskan, biasanya yang paling disasar untuk tindak kejahatan adalah kelemahan nasabah-nasabah. "Jadi para pelaku ini lihai, mereka sudah melakukan tahapan-tahapan social engineering, yang mereka lakukan dari media sosial," ujarnya.

Karena itu, para pelaku sudah mengenali nasabahnya dan pertama kali yang mereka lakukan adalah kejahatan fishing kepada nasabah dengan cara menghubungi via telpon atau email. "Karena itu, kami melakukan edukasi kepada nasabah agar tidak tertipu. Tapi terkadang tertipunya ini bukan karena masalah edukasi, tapi karena ada celah yang tidak selalu aware sehingga dapat tertipu," kata dia. Selain itu, security system yang dibuat dan iimplementasikan Bank Mandiri juga harus bisa bertahan dari serangan dari luar maupun serangan dari dalam.

Adapun, Direktur BCA, Haryanto T Budiman, mengatakan, setiap harinya transaksi di BCA terus meningkat dari segi digitalisasi. "Jadi kalau kita lihat angkanya 1 hari itu kita memproses rata-rata sekitar 56 juta transaksi Jadi kalau range itu antara 50 sampai 70 juta transaksi," kata dia.

Menurutnya, masyarakat sudah mulai bertransformasi dalam bertransaksi masuk ke digital. Karena itu, resikonya juga banyak. "Kalau kita lihat kejahatan di dunia cyber ini 99 persen adalah social engineering dan 1 persen itu adalah serangan terhadap sistem," ujarnya.

Untuk mengantisipasi ini, Haryanto melanjutkan, BCA memiliki dua cara. Pertama, meningkatkan security pada sistem BCA. "Jadi kita mempelajari serangan-serangan yang terjadi pada sistem baik di Indonesia maupun juga di luar negeri, kita berusaha untuk mencegah terjadinya kesalahan yang sama di sistem kita," ujarnya.

Kedua, memperkuat proses dan teknologinya. "Jadi untuk memperkuat security ini bukan hanya teknologinya, tapi prosesnya juga," kata dia.

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, menegaskan, data merupakan yang paling penting dan ini sudah menjadi semacam darah. Sebab, data konsumen ini perkembangannya sangat besar dan sudah menjadi way of life.

"Tapi persoalannya adalah kesadaran masyarakat terhadap informasi atau pun digitalisasi ini masih relatif rendah, kalau kita lihat literasi kita mungkin termasuk rendah di kawasan Asia sekitar 35 sampai 40. Jadi masih rendah sehingga pemahaman mereka terhadap perlindungan data masih sangat rendah," kata Tauhid.

Kemudian, Tauhid melanjutkan, dari sisi hukum masih relatif kurang begitu baik meski sudah memiliki Undang-undang ITE, juga peraturan Kominfo. "Namun tampaknya tidak kuat untuk mendukung bagaimana perlindungan konsumen dilakukan, kita masih menunggu undang-undang perlindungan data pribadi konsumen ini dibahas dan disahkan, juga perlu ada revisi hal penting di dalamnya," ujarnya.

Direktur PT Kredit Utama Fintech, Anna Chosani, mengatakan saat ini yang menjadi tantangannya adalah meningkatkan awarness dari masyarakat perlindungan data pribadi. "Karena kita harus meyakinkan kepada masyarakat bahwa perlindungan data pribadi itu ibarat begini, jangan suruh orang lain jagain data pribadi kamu, tapi yuk menjaga data pribadi itu harus dimulai dari kita," kata dia.

Dialog Industri Financial Series, dengan tema Literasi Keuangan dan Perlindungan Konsumen ini didukung oleh Bank Mandiri, Bank BCA, dan Rupiah Cepat.

Berita Lainnya