Kebijakan Perikanan dan Kelautan Mengancam Kehidupan Nelayan
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 27 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang merupakan turunan dari Undang-undang (UU) Cipta Kerja, ternyata dinilai masih bermasalah.
Tempo
Sabtu, 10 April 2021
Jakarta-- Regulasi pemerintah terkait kebijakan kelautan dan perikanan dianggap tidak memihak masyarakat bahari serta nelayan, melainkan kepentingan industri dan eksploitasi berkedok Proyek Strategis Nasional (PSN). Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Tempo Media serta beberapa narasumber terkait membahas hal ini dalam Ngobrol Tempo yang bertema “Kebijakan Perikanan dan Kelautan untuk Siapa?” pada Selasa, 13 April 2021 secara daring, di kanal Youtube, Facebook dan TV Tempo.
Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati meyakini bahwa PP nomor 27 tahun 2021 masih bermasalah dan memiliki banyak inkonsistensi. “Dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), negara mau mengembangkan pembangunan budidaya secara masif. Bagaimana kita mau bicara tentang kedaulatan, kalau kemudian konteks budidaya perikanan yang didorong?” ujar Susan.
Menurut Susan, kekhawatiran terbesar bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dari lahirnya PP ini adalah perubahan zona inti konservasi menjadi zona industri. “Peruntukan ruang dan perubahan tersebut akan memunculkan konflik bagi masyarakat dan mereka akan tergusur dari ruang hidupnya karena ada proyek-proyek ekstraktif, eksploitatif dan masif,” katanya.
KIARA melihat PP ini muncul untuk mengakomodir implementasi Peraturan Presiden (Perpres) nomor 109 tahun 2020 terkait pembangunan di pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka percepatan pelaksanaan PSN. “Kami melihat ini sebagai desain besar perampasan ruang yang terstruktur melalui regulasi. Seolah-olah sah dan tidak bermasalah, tetapi ini akan menyebabkan perampasan ruang, baik di darat maupun laut,” ucap Susan.
Senada dengan Susan, ahli ekonomi kelautan, Suhada mengatakan bahwa melalui regulasi yang dikeluarkan pemerintah, kawasan zona inti konservasi dapat berubah peruntukkannya demi kepentingan investasi para pelaku usaha. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup para nelayan, namun juga ketersediaan sumber daya ikan itu sendiri.
“Tidak diatur pun di lapangan terjadi, apalagi sekarang dilegalkan adanya dengan istilah Proyek Strategis Nasional. Selain mengancam kelestarian sumber daya, kondisi ini juga mengancam kelestarian usaha perikanan,” kata Suhada.
Sementara itu, Jhon Edison Kailola, seorang nelayan dari Maluku mengungkapkan bahwa saat ini kondisi ekosistem pesisir dan perikanan di Maluku masih baik karena para pelaku usaha belum mulai mengeksploitasi. “Namun, adanya PP nomor 27 ini membuka ruang investasi baru yang masuk dan ini berisiko bagi para nelayan serta masyarakat pesisir,” ucapnya.
Menurut Jhon, bila ada reklamasi atau pemanfaatan wilayah pesisir secara masif, daerah yang semula aman sangat mungkin terkena dampak abrasi. Selain itu, dampak lain dari penerapan peraturan ini adalah potensi terjadinya penangkapan ikan illegal yang menimbulkan kerugian besar bagi para nelayan. “Oleh karena itu, kami sebagai nelayan dan masyarakat pesisir itu sangat menentang penerapan PP nomor 27 tahun 2021 ini,” ujarnya.
Sebenarnya, masyarakat pesisir Maluku sudah punya kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan pesisir. Baik wilayah maupun ketersediaan sumber daya perikanan dijaga aturan adat yang sudah dianut sejak lama. Jhon menilai, keberadaan zona industri nantinya hanya akan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir saja.
“Kita tahu, Maluku diproyeksikan menjadi lumbung ikan nasional. Tetapi bila PP nomor 27 ini diterapkan secara masif, otomatis hal ini tidak akan terjadi. Sebenarnya Maluku ini mau jadi lumbung ikan atau penyuplai ikan? Jadi kebijakan ini untuk siapa, para pemodal besar atau masyarakat?” kata Jhon.
Menutup diskusi, Susan mengatakan bahwa negara perlu secepatnya mencabut atau merevisi PP nomor 27 tahun 2021. Pemerintah diminta menanggapi berbagai pendapat yang muncul di masyarakat terkait berbagai kebijakan kelautan dan perikanan. “Masyarakat bahari ini menolak bukan hanya sekedar untuk melawan, tapi mereka sedang memperjuangkan hidupnya, mereka hanya ingin melaut,” ujarnya.
INFORIAL