Perempuan dan Iklim untuk Masa Depan yang Setara
Pembiayaan perubahan iklim responsif gender diperlukan untuk mencapai kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan.
Tempo
Sabtu, 13 Maret 2021
Jakarta — United Nations Development Programme (UNDP) dan Center for International Forestry Research (CIFOR) menganggap mekanisme pembiayaan perubahan iklim perlu mempertimbangkan kebutuhan perempuan dan laki-laki untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim terhadap perempuan dan masyarakat miskin.
Menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, pembiayaan perubahan iklim mengacu pada pembiayaan lokal, nasional atau transnasional —dari sumber pembiayaan publik, swasta dan alternatif — yang berupaya mendukung aksi mitigasi dan adaptasi untuk penanganan perubahan iklim.
Resident Representative UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura, mengatakan temuan utama pengamatan awal mengkonfirmasi bahwa intervensi responsif gender perlu diintegrasikan dengan lebih baik ke dalam mekanisme pembiayaan perubahan iklim.
“Salah satu alasan adalah perempuan penerima manfaat mengalami kesulitan yang lebih besar dalam mengakses pembiayaan perubahan iklim dari pemerintah,” ujarnya saat membuka peluncuran laporan UNDP Indonesia dalam SDG Talks secara virtual, Jumat (12/3). SDG Talks ini bertujuan untuk membahas dan mengadvokasikan isu-isu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) kepada kaum muda di Indonesia.
Laporan UNDP Indonesia berjudul, “Memanfaatkan Pembiayaan Perubahan Iklim untuk Kesetaraan Gender dan Pengentasan Kemiskinan,” tersebut meninjau lima mekanisme pembiayaan perubahan iklim di Indonesia untuk mempelajari lebih lanjut tentang penerapan inklusivitas gender. Selain itu, kajian ini meninjau program-program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tingkat tapak yang didanai melalui APBN , untuk menghasilkan indikator-indikator untuk anggaran responsif gender pada program perubahan iklim.
Menurut Norimasa persyaratan seperti kepemilikan aset, keterampilan usaha, akses informasi, dan keanggotaan dalam koperasi masih berpihak pada laki-laki atau orang kaya. “Ini salah satu contoh kendala yang dihadapi perempuan dan masyarakat miskin, yang membatasi akses dan manfaat bagi mereka yang paling membutuhkan,” katanya.
Ilmuwan senior di CIFOR, Houria Djoudi, mengungkapkan pembiayaan perubahan iklim dapat menghasilkan tindakan yang dapat mengurangi atau memperburuk kesetaraan gender dan kemiskinan. “Masyarakat miskin terdampak secara tidak proporsional oleh dampak perubahan iklim,” katanya.
Menurut Houria, “Mekanisme keuangan yang mendanai aksi iklim, harus dirancang untuk memungkinkan, dan tidak menghambat kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, terutama perempuan dan masyarakat miskin dalam menghadapi perubahan iklim,” ujarnya.
Asisten Deputi Kesetaraan Gender Bidang Perumusan Kebijakan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Indonesia, Muhammad Ihsan, mengatakan Indonesia dengan wilayah luas mencapai 820 juta hektare adalah daerah rawan bencana akibat dampak negatif dari perubahan iklim.
Dampak bencana dirasakan oleh berbagai sektor, dan perempuan menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan akibat bencana karena perubahan iklim ini. “Contohnya 80 persen dari korban tsunami Aceh adalah perempuan, dan kesehatan reproduksi 15-20 persen dari wanita hamil mengalami komplikasi sebagai dampak bencana di Indonesia,” jelas Ihsan.
Menurut Ihsan perlu adanya tindakan afirmasi yang dapat mengubah posisi perempuan dalam situasi ini. “Sehingga perempuan tidak hanya menjadi beban tapi membantu penanganan bencana, dan berperan aktif dalam menangani dampak akibat perubahan iklim,” ujarnya.
Ihsan menjelaskan bahwa kesetaraan gender telah menjadi agenda nasional dan telah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024. “Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengintegrasikan perspektif gender kedalam sektor pembangunan termasuk ke bidang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.
“Salah satu inisiatif yang saat ini sedang dikembangkan bersama dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dan UNDP adalah penandaan ganda atau double tagging untuk tematik perubahan iklim dan anggaran responsif gender” kata Ihsan.
Inisiatif ini bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam penganggaran program dan tematik perubahan iklim yang terdapat di kementerian/ lembaga. “Sekaligus memetakan kebutuhan anggaran perubahan iklim untuk menggali potensi pembiayaan selain dari APBN,” ujar Ihsan.
“Upaya ini merupakan mekanisme untuk mengidentifikasi sejauh mana pengarus- utamaan gender dilakukan di dalam output-output terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” tutup Ihsan. (*)
Inforial