Tantangan Masyarakat Bahari di Tengah Pandemi
Selain pandemi, masyarakat bahari pun terancam keberadaannya lewat serangkaian regulasi pemerintah.
Tempo
Sabtu, 30 Januari 2021
Jakarta- Pandemi Covid-19 bisa membolak-balikan keadaan. Hantamannya ke semua lini, termasuk masyarakat bahari. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, mengatakan dampak pandemi berakibat banyaknya nelayan yang berhenti melaut seperti yang terjadi Muara Angke dan Pulau Pari di Kabupaten Pulau Seribu, hingga nelayan di Sumatera Utara.
“Ikan-ikan yang nelayan tangkap tidak bisa dijual dan harganya terjun bebas. Di Sumatera Utara nelayan menjual gurita biasanya sebesar Rp40 ribu/kg, tapi ketika Covid-19 harga menjadi Rp20 ribu/kg. Tentu tidak cukup dengan biaya produksi mereka,” ujar Susan dalam webinar Ngobrol@Tempo bertajuk: Masyarakat bahari, Pandemi Covid-19 dan Ancaman Perampasan Ruang Hidup, pada Kamis, 28 Januari 2021.
Dalam diskusi tersebut juga dihadiri oleh Kepala Badan Riset dan SDM Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sjarief Widjaya; Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, Dedi Mulyadi; Presidium KIARA, Junus Jefry Ukru; Pengamat Perikanan Universitas Sam Ratulangi, Rignolda Djamaluddin; Nelayan Aceh, Rizal; serta dimoderatori Redaktur Tempo.co, Ali Nur Yasin.
Susan melanjutkan, tidak hanya karena corona saja yang membuat masyarakat bahari mengalami masa-masa sulit. Melainkan juga karena disahkannya regulasi yang mengancam keberadaan mereka.
“KKP harus memastikan tidak ada perampasan ruang hidup. Karena meski Covid-19 penambangan pasir di Makasar terjadi. Kawan-kawan nelayan di Sumut menghadapi kebijakan Permen 59 yang memperbolehkan cantrang melalui jalur penangkapan ikan. Padahal sangat membahayakan ekosistem laut,” tutur Susan.
Senada, nelayan laut asal Banda Aceh, Rizal mengaku selama pandemi nelayan Aceh sangat terjepit lantaran harga ikan anjlok. Selain itu, kata dia, nelayan di Aceh kerap dibatasi oleh negara-negara tetangga saat melaut. Padahal masih di wilayah Indonesia. “Yang dihadapi nelayan adalah batas ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) itu. Karena nelayan sering ditakut-takuti saat melaut oleh kapal atau drone negara tetangga,” ucap pengurus organisasi adat Panglima Laut itu.
Sjarief Widjaya mengatakan, bahwa pihaknya telah mendorong beberapa program untuk mengurangi beban selama pandemi ini. Diantaranya program terumbu karang buatan di Bali. Hal ini bertujuan agar masayarakat terdampak seperti sektor pariwisata memperoleh pekerjaan.
“KKP juga melakukan gerakan masyarakat gemar ikan. Kami buat paket-paket gemar ikan yang disebar banyak sekali. Ikannya dibeli dari nelayan kemudian di package dan dibagikan ke masyarakat yang terdampak pandemi ini,” tutur Sjarief.
Diketahui, terdapat sekitar 2,7 juta jiwa nelayan di Indonesia. Mereka sering disebut masyarakat bahari karena mereka tinggal pesisir dan pulau kecil serta memiliki ketergantungan kepada sumber daya kelautan.
Rignolda Djamaluddin mengaku miris melihat realitas masyarakat bahari saat ini. Sebab, masyarakat bahari adalah salah satu pemasok kemiskinan di Indonesia.
“Kita tidak boleh berbangga dengan itu. Sumber daya kita terjadi penurunan kualitas ekologis baik di dekat pantai maupun laut lepas,” ujar pengajar yang juga Ketua Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara tersebut.
Menurutnya, saat ini yang menjadi masalah lain adalah regenerasi nelayan dan makin lemahnya nelayan. “Sebenarnya penjaga laut kita itu adalah nelayan. Karena nelayan makin lemah ya lemahlah pertahanan kita,” ucapnya. Ia pun meminta agar KKP membuat program agar regenerasi nelayan tidak putus.
Sementara, Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI, Dedi Mulyadi meminta KKP mengevaluasi kebijakan yang ada. Salah satunya dengan melarang ekspor benih lobster (benur) karena tidak sejalan dengan semangat konservasi. (*)