Ia masih seperti Gus Dur yang biasa dikenal: kalem menghadapi sapaan siapa pun, meluncurkan aneka anekdot di sepanjang pembicaraan, lalu tertawa terkekeh-kekeh bersama teman bicaranya. Itu pula yang terjadi saat ia menerima wartawan TEMPO Ignatius Haryanto, akhir dua pekan lalu di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ruang kantornya dihiasi berbagai buku. Beberapa di antaranya berserakan di atas meja: buku