maaf email atau password anda salah
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo
Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang
Satu Akun, Untuk Semua Akses
Masukan alamat email Anda, untuk mereset password
Konfirmasi Email
Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.
Ubah No. Telepon
Ubah Kata Sandi
Topik Favorit
Hapus Berita
Apakah Anda yakin akan menghapus berita?
Ubah Data Diri
Jenis Kelamin
LEWAT buku Bukan Takdir, Widjajanti W. Dharmowijono membongkar penyebaran stereotipe negatif tentang orang Cina di Nusantara yang telah mengakar selama ratusan tahun. Dia menelisik sekitar 200 karya sastra yang ditulis pada 1880-1950. Citra seperti kasar, rakus, dan penjilat dilekatkan para penulis sastra Eropa di Hindia Belanda terhadap tokoh-tokoh Cina dalam cerita mereka. Citra yang menyulut sejumlah peristiwa berdarah yang menelan korban tak berdosa.
Setelah 12 tahun, buku karya Widjajanti W. Dharmowijono tentang pencitraan orang Cina dalam novel Indo-Belanda bertarikh 1880-1950 akhirnya dirilis Penerbit Ombak pada 5 April 2021. Perilisan ini disyukuri Inge—panggilan akrab Widjajanti—karena dulu naskah yang bersumber dari disertasinya di Universiteit van Amsterdam itu pernah ditolak penerbit Belanda. Namun Inge tetap berkukuh pada keinginannya semula: bukunya harus terbit dalam bahasa Indonesia dan dibaca khalayak negeri ini.
SEKITAR 280 tahun lalu, krisis ekonomi dan hoaks menyulut Geger Pecinan 1740-1743. Lebih dari 10 ribu warga keturunan Cina di Batavia dibantai Belanda dan lebih dari 500 rumah mereka dijarah serta dibakar. Mereka yang selamat lalu lari ke Jawa Tengah dan bersekutu dengan prajurit Keraton Mataram. Pasukan gabungan ini menyerang balik Belanda dan menduduki sejumlah daerah di Jawa Tengah. Di tengah kecamuk itu, muncul prajurit perempuan, Tan Peng Nio, putri jenderal pelarian dari Cina. Tan Peng Nio layaknya Mulan, tokoh film animasi Disney yang menyaru sebagai lelaki demi turun bertempur di medan laga. Tempo menyusuri jejaknya dengan menyambangi makamnya di Kebumen, Jawa Tengah. Area permakaman itu kabarnya juga menjadi salah satu saksi peristiwa Geger Pecinan sekaligus tempat pertemuan Tan Peng Nio dengan bangsawan Jawa, Raden Mas Soleman Kertawangsa, yang kemudian menjadi suaminya. Berikut ini laporannya.
Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.